Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

MONTASE

Penulis                 : Windry Ramadhina Penerbit              : GagasMedia Jumlah hal.         : viii + 360 hlm Tahun terbit      : 2012 Stars                      : 4/5 Aku berharap tak pernah bertemu dengamu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu. Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku, Tapi... Kalau aku benar-benar tak pernah bertemu dengamu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai... Dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu. Seperti ringkasan ceritanya, mungkin anda tak berharap membaca novel yang meninggalkan kesan biru muda di hati. Namun, jika anda tak membaca novel ini, anda akan melewatkan bagaiman rasanya emosi anda naik turun karena keepikan kisah ini.

SELAYAKNYA ULAT YANG MENJADI KUPU-KUPU

Tahunan yang lalu ... Saat aku masih rok merah mengembang-ngembang di kaki kecilku. Menunjukkan celana selutut yang kukenakan, cukup untuk membuat guruku marah karena katanya aku tidak rapi. Tahunan yang lalu... Saat rambutku masih 'semi cepak', membuat guruku mengeluhkan perawakanku yang lebih mirip siswa-siswanya. Tahunan yang lalu... Saat aku masih merajut kisah di kelas 4 SD. Masih ingat betul aku. Saat Ibu Guru menugaskan kami untuk menulis tentang liburan kami dan membacakannya di kelas. Dan masih ingat betul aku ketika aku berdiri di depan kelas, dengan kaki-kaki kecil nan ringkih. Membaca dengan suara yang tak kalah ringkih. Berlembar-lembar kisah tentang perjalananku ke pulau Sumbawa di NTB sana.

MENCINTAI ATAU DICINTAI

Mungkin setahun yang lalu, saat aku duduk di bangku nomor dua dari depan. Dengan khidmat melipat tangan di atas buku bahasa Indonesia, guruku bertanya. “Anak-anak, kalian memilih untuk mencintai atau dicintai?” tanyanya. Suaranya yang halus mengisi kubikel-kubikel udara di kelas kami. Puluhan temanku yang lain riuh rendah menyatakan pendapatnya. Sementara aku masih menimang-nimang dua pilihan itu. Memikirkan baik dan buruknya. Tak kunjung menentukan pilihan hingga beberapa temanku mengutarakan alasan akan pilihan mereka. Sebagian besar dari mereka memilih untuk dicintai. “Bu, saya memilih untuk mencintai,” selaku. Setengah memaksa guruku untuk memberikan kesempatan berbicara padaku.

CUNG, CLEM & SEK

"Tuk" ~Notifikasi pesan masuk~ from Manclem :p [08579298xxxx] Ritual suci tidur siangku terputus oleh nada notifikasi itu. "Sek, ntar sore kita ke rumahmu sama Vanti :3 kangen." Sembilan kata dan satu emoticon muncul di layar android tipis berwarna putih. Sejenis handphone branded Korea yang sangat tenar dimasanya. Tak lama, sms serupa masuk dari Cung. Sebuah pemberitahuan kalau dua orang ini akan bertandang ke rumahku sore nanti. Kantukku lansung menguap bak embun yang menghilang karena hangatnya matahari. Segera aku mengirimkan pesan balasan yang berisikan kebaikan hatiku untuk menerima mereka di rumahku. ... Pernahkan kalian menyukai seseorang sejak pertemuan pertama? Tapi maksudku bukan seseorang untuk dijadikan pacar. Ini lebih dari pacar atau lawan jenis yang menyatakan cinta pada kalian. Yang aku maksud adalah 'pernahkan kalian bertemu seseorang yang membuat hati kalian mengatakan kalau dia akan menjadi sahabat baik kalian? Sungguh berun

KALO JATUH GAK PERAWAN !!!

Di suatu sore menjelang senja, aku lagi pemanasan sebelum lari. Mulai dari gerak-gerakin kepala, tangan, meregangkan pinggang dan terakhir angkat kaki. Tak lupa sesekali ikut bernyanyi bersama Broery Marantika  ~~~ di suatu senja dimusim yanggg lalu~~~  *ada yang tau ini tahun berapa?*... "HUP!" tiba-tiba keseimbangan kaki kiriku oleng. "KALAU JATUH GAK PERAWAN!!" Suara tiga puluh satu orang itu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Cepat-cepat aku mengembalikan keseimbangan agar kaki kananku tak menjejak tanah apalagi sampai membuat jatuh.

The Power of Deadline

Tulisan ceracau ini berawal dari insomniaku yang semakin akut dari hari ke hari. Bertambah parah setiap kali aku mengingat kalau dua belas hari lagi aku akan meninggalkan ruang merah muda ini, demi menyandang gelar S.ST di ibukota sana. Kepalaku terus menerus memberikan peringatan agar aku menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan ruangan selama sepuluh tahun terakhir ini, memintaku untuk menghirup setiap partikel udara hangat di ruang ini, memintaku untuk memandang kembali coretan-coretan dan cat yang terkelupas akibat tempelan poster. Dan bagaimana bisa mataku terpejam saat aku tengah menjalankan perintah aneh dari kepalaku itu? Jadilah aku terbangun, menelusuri satu persatu buku-buku yang berdiri tegak di rak. Hingga akhirnya mataku menumbuk sebuah buku antologi cerpen Bicaralah Cintaku. Otomatis, pikiranku lansung tertuju pada sebuah halaman. 107. Dan kutemukanlah judul sebuah cerpen di sana, Melodi untuk Nada . Melodi untuk Nada, cerpen bertemakan cinta, disabilitas dan ke

FAIL *1

"Aku mau aborsi," suaranya yang tenang seperti denting lonceng gereja. "Tuk." Alat itu jatuh dari tangan Bintang. Berguling-guling sebelum akhirnya terhenti di rumput.  Pria berambut eboni itu menatap kekasihnya lekat-lekat. Baru saja Auri memperlihatkan dua garis di alat itu, sekarang ia meremas jantung Bintang dengan rencananya itu. "Ka... Kamu yakin, Ri?" Bintang tergagap. Ia cari-cari kegetiran pada sosok Auri. Namun wanita yang berdiri menghadap matahari itu, yang membiarkan cahaya keemasan menimpa rambut dan kulitnya itu, terlihat tegar. Sudut bibir kanan Auri sedikit terangkat, meringis "Tentu saja. Aku tidak mau merusak masa depanku hanya untuk jabang yang belum berbentuk."

DAY #3 : KAU BAHAGIA?

KAU BAHAGIA? Gerimis. Begitu khidmatnya ia memandang jendela yang berembun itu. Mengacuhkan jemarinya yang gemetar, terlalu lama bermain dengan dingin. Sementara tangan yang lain tetap mengelus perutnya. Ah, kau merasakan gerakannya? Lamat-lamat, aku mendekatinya, "Lye ..." Ia memandangku sejenak dengan bola matanya yang sendu. Warna cokelat di sana sudah tak secerah dulu. Lalu, ia kembali memandang rintik hujan di luar jendela. Mungkin baginya hujan lebih menyenangkan daripada aku. "Lye, ini susunya," kusodorkan tatakan bersama gelasnya. Lagi, Lye menatapku. Namun hanya sejenak sebelum ia mengambil susu itu. Jemarinya tersentak saat ia menyentuh tanganku. Ah, begitu tak sukakah kau padaku. Lye menegak minuman itu sambil menutup hidungnya. Sekali, dua kali, ia hendak mengeluarkan cairan yang sudah ia minum. Namun ia tetap bertahan. Aku tahu ia sakit. Tapi, tak sekalipun ia meminta pertolonganku. Sekalipun ia tahu aku sangat menginginkannya

DAY #2 RAIN, PLANE AND HAPPINESS

RAIN, PLANE and HAPPINESS Mencapai titik kondensasinya, awan meluruh. Gumpalan-gumpalan hitam itu menghujam bumi dengan panah-panah airnya. Yang semula hanya sebesar butiran pasir, kini hantamannya laiknya kerikil. "Kamu serius, Em?"  Emily tetap memandang orang-orang yang sibuk dengan koper-kopernya. Tangannya menggenggam gelas plastik dengan cairan kental putih di dalamnya, jus sirsak. "Iya. Makanya aku memanggilmu. Aku ingin memberitahu orang yang sudah menganggapku penting," jawabnya pelan. Lalu menyeruput minumannya lagi. Tangannya yang putih terlihat gemetar. Dia sedang menahan emosinya. "Kau akan meninggalkan rumahmu?"

Day #1 : TRUST ME

TRUST ME Perempuan bertubuh mungil itu berdiri tegak di depan gerbang. Menunggu sosok yang sudah membuat janji dengannya siang ini. "Ed!" Begitu mendengar nama itu, ia memfokuskan mata di balik kacamatanya. Hingga menemukan pria pemilik nama yang tengah berjalan menuju gerbang. Pria itu berjalan santai dengan ransel yang disandang di bahu kirinya. Dasi abu-abunya mengikat kerahnya longgar. Seragamnnya pun tak sepenuhnya masuk di balutan ikat pinggang hitamnya. "Ed!" seorang gadis berpita putih berlari-lari kecil menuju pria itu. "Eddd!!" suara yang melengking mengisi seantero lapangan. Sempat membuat perhatian seluruh lapangan terpusat pada gadis berambut panjang dengan rok abu-abunya yang pendek. Ed menatap gadis itu dengan heran, namun ia tetap menyambunya dengan senyum yang terbingkai bibir tipisnya. "Kamu privat sama Mbak-Mbak itu? ... " samar-samar perempuan itu mendengar perkataan hawa yang ada di samping Ed. Ia tersenyu

MY REAL PRINCE

"Apalagi yang kamu tonton?" suara rendahnya menyergapku. "Suisei No Gargantia ...,hoaammm," jawabku malas sambil meletakkan tas di atas meja. Gantungan SAO ku bergoyang-goyang sejenak sebelum membentur kayu meja. "Kau tahu? Harusnya kau mengurangi kebiasaan burukmu itu," nasaihatnya, ia meletakkan pantatnya di bangku lalu membaca kumpulan rumusnya. "Kau tahu? Harusnya kau mengurangi kebiasaanmu untuk menasihatiku," dengusku. Dia hanya menjawab dengan gerakan memperbaiki posisi kacamatanya. "Cikaaa, ayo ikut ke ruang musik. Bandku punya lagu baru." Tiba-tiba, pria dengan rambut kaku tajam dan berantakan itu datang dengan langkahnya yang panjang. Tiga pria serupa mengekorinya. "Pak Bambang tidak masuk?" tanyaku. Ia hanya tersenyum lebar dan menggeleng. "Makanya aku mengajakmu," katanya sambil menopangkan tangannya di meja. "Duduk, Ton," Kennu berdiri dari sisiku, lalu ia berjalan ke papan t

My Dandelion Boy

Originall idea from  @Detariesandy MY DANDELION BOY Serpihan-serpihan kecil pengantar harapan itu terbang. Patuh pada lajur angin. Entah kemana mereka akan membawa doa-doaku pergi. Mungkin ke malaikat? Lalu malaikat akan membawanya ke Tuhan. Selanjutnya Tuhan akan mengabulkan doa itu dengan mengirimmu ke sisiku. Kenapa kamu? Karena namamulah yang kutulis di doa-doa itu. Doa-doa dandelion. Kamu memang bukan orang pertama yang membuatku berpikir akan cinta. Kamu juga bukan orang pertama yang sering melipir-lipir kertas dan menyelipkannya di buku tulisku. Maksudku, surat cinta. Kamu juga bukan orang pertama yang membuat mataku selalu waspada, karena ingin mengikutimu. Tapi kamu orang pertama yang mengajarkanku pada harapan. Lebih tepatnya harapan-harapan dandelion. Selayaknya batang dandelion yang lurus dan tinggi, kamu adalah orang mandiri dan tidak menyukai popularitas. Tapi kamu bisa menahan rasa sepi itu, dan mengalahkannya dengan menghasilkan penca

Bukan Rasa yang Salah

Genre : Romance, Friendship Word : 4.094 Summary : Kita selalu baik. Tapi, semua kebaikan itu membuatku jenuh. Authorized : Originnal idea from @detariesandy .  Dari Nami. “Putus? Kenapa?” sebuah lonjakan kecil di hati Nami membuatnya menutup novel barunya. “Mmm... bagaimana, ya. Aku sudah tidak mencintai dia lagi.” Nami menatap gadis di depannya dengan matanya yang membulat –serius-. Sementara, yang ditatap –Angela- malah asyik melilit jarinya dengan rambutnya. “Seingatku, baru satu bulan yang lalu kamu bilang kamu mencintainya. Aku masih ingat betul kalau sore itu kamu menceritakan bagaimana bahagianya hatimu melihat Tobi. Seingatku juga, kalian tak pernah bertengkar. Kenapa kamu tiba-tiba ingin memutuskan dia?” Angela menatap balik Nami, ia menghembuskan nafas perlahan. “Nami, aku juga menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Rasa cinta itu sudah tidak ada,” ucapnya sambil membolak-balik asal novel Nami. “Rasa tidak pernah sala

Second Beginning

Helai ilalang menawarkan cinta, kawan.  Tapi kita tersesat di langit biru, kawan. Entah, kapan kita bisa kembali... . Memetik cinta di padang itu, kawan. Seperti yang kekasih biasa lakukan. Angin terus bernyanyi, kawan. Mengantarkan cinta pada setiap hati.