Langsung ke konten utama

DAY #2 RAIN, PLANE AND HAPPINESS


RAIN, PLANE and HAPPINESS




Mencapai titik kondensasinya, awan meluruh. Gumpalan-gumpalan hitam itu menghujam bumi dengan panah-panah airnya. Yang semula hanya sebesar butiran pasir, kini hantamannya laiknya kerikil.

"Kamu serius, Em?" 

Emily tetap memandang orang-orang yang sibuk dengan koper-kopernya. Tangannya menggenggam gelas plastik dengan cairan kental putih di dalamnya, jus sirsak.

"Iya. Makanya aku memanggilmu. Aku ingin memberitahu orang yang sudah menganggapku penting," jawabnya pelan. Lalu menyeruput minumannya lagi. Tangannya yang putih terlihat gemetar. Dia sedang menahan emosinya.

"Kau akan meninggalkan rumahmu?"


Em menatapku sebentar. Lalu tawanya berderai. Laiknya hujan di luar sana. "Rumah? Kau tahu apa yang dimaksud rumah?" Ia meminum jus itu, lalu melanjutkan, "Rumah bukan sekedar bangunan di mana kau punya tempat tidur sendiri. Rumah itu tempat dimana kau bisa mendapatkan rasa nyaman."

Aku menghela nafas, "Em, aku tahu. Tapi kau tidak boleh ..."

"Jo ..." 

Em menyebut namaku dengan suara rendahnya. Seperti yang selalu ia lakukan saat ia tidak ingin diganggu, didebat, diinterupsi ... Saat ia sudah menutup hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Jadi, ku ikuti kemauannya, diam.

Jus di gelas Em habis. Ia melemparkan gelas itu ke tong sampah di depan kami, namun lemparannya meleset. Ia mendengus seraya menggerakkan bibirnya ke satu sudut. Lalu, ia mengambil minyak kayu putih dan merapusnya di tangannya, kemudian ke balik kaus longgar yang ia kenakan.

"Bagaimana dengan, Adri? Ia tahu?"

Gadis berambut burgundy itu menarik nafas panjang. "Sebenarnya kami sudah putus sebulan yang lalu, ia tidak tahan dengan kondisi keluargaku."

Sesuatu menghentak hatiku. Karena itukah?

"Tapi bukan karena itu aku memilih untuk pergi ke Lombok. Bukan semata-mata untuk menyusulnya. Aku bukan lagi remaja labil yang dimabuk cinta," imbuhnya, menjawab pertanyaanku. Lalu tawanya yang renyah mengisi udara. Bersama dengan mata yang menyempit dan melengkung menyerupai bulan sabit. Andai saja, Tuhan memberikannya kehidupan yang seindah matanya.

"Tiga bulan yang lalu, saat aku berlibur ke rumahnya, aku menemukan sebuah rumah sederhana. Perabotannya pun demikian, hampir semuanya plastik. Aroma di rumahnya pun demikian, hanya aroma yang berasal dari bunga melati depan rumah. Dan itu membuatku nyaman," Em menarik nafas panjang, mungkin dalam bayangannya ia tengah membaui bunga putih kecil itu.

Aku tertawa miris. Aku paham maksudnya. Tentu saja ia akan memilih semua itu dibandingkan dengan rumahnya yang penuh dengan perabotan pecah belah yang setiap harinya pecah. Tentu saja ia akan memilih aroma melati dibanding aroma gin, tonic, beer atau batangan marlboro yang dibakar.

"Satu lagi, di sana sepi."

Tawaku mengeras namun hatiku sakit. Seolah-olah semua beban Em dipindahkan ke bahuku. Ya, akupun mungkin tidak tahan dengan suara-suara di sana. Bercampur aduk menjadi simphony yang terdiri dari teriakan-teriakan, kemarahan dan tangisan. Hitam.

Kami terdiam. Dari pengeras suara, petugas menyebutkan sederet nomor penerbangan dan memberikannya panggilan.

"Well, aku harus pergi. Terimakasih sudah menemaniku selama ini," ia memelukku ringan.

"Tapi aku sudah gagal membuatmu bertahan," jawabku miris. "Eh, tapi kau akan tinggal di mana?"

Em tersenyum tipis. Ia merogoh kantung jaketnya lalu menyerahkan selembar kertas padaku. "Untukmu."

Foto.

Foto USG.

"Sudah tiga bulan," ujarnya seraya menunjuk perutnya yang tertutupi kaus longgar itu. Nada suaranya berisi buncahan-buncahan kebahagiaan.

"Em, kau dan dan Adri kan sudah ... Ehm, bagaimana kalau nanti dia tidak ...,"

"Aku akan mencari tahu jawaban itu nanti," ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia berbalik, melangkah menjauhiku. Membawa koper biru mudanya. Saat itu aku sadar, ia akan seutuhnya pergi dari sini. 

"EM!" 

Em menoleh.

"Aku bisa kembali kapan saja. Aku akan menunggumu."

Em tersenyum, membingkai giginya yang rapi dengan bibirnya yang tipis. Lalu ia melangkah lagi.

Aku menatap foto hitam putih itu.


"Tinggalkan yang lain untuk dapatkan yang lain. That's courage."



~Fin~

#14DaysofInspiration

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...