RAIN, PLANE and HAPPINESS
Mencapai titik kondensasinya, awan meluruh. Gumpalan-gumpalan hitam itu menghujam bumi dengan panah-panah airnya. Yang semula hanya sebesar butiran pasir, kini hantamannya laiknya kerikil.
"Kamu serius, Em?"
Emily tetap memandang orang-orang yang sibuk dengan koper-kopernya. Tangannya menggenggam gelas plastik dengan cairan kental putih di dalamnya, jus sirsak.
"Iya. Makanya aku memanggilmu. Aku ingin memberitahu orang yang sudah menganggapku penting," jawabnya pelan. Lalu menyeruput minumannya lagi. Tangannya yang putih terlihat gemetar. Dia sedang menahan emosinya.
"Kau akan meninggalkan rumahmu?"
Em menatapku sebentar. Lalu tawanya berderai. Laiknya hujan di luar sana. "Rumah? Kau tahu apa yang dimaksud rumah?" Ia meminum jus itu, lalu melanjutkan, "Rumah bukan sekedar bangunan di mana kau punya tempat tidur sendiri. Rumah itu tempat dimana kau bisa mendapatkan rasa nyaman."
Aku menghela nafas, "Em, aku tahu. Tapi kau tidak boleh ..."
"Jo ..."
Em menyebut namaku dengan suara rendahnya. Seperti yang selalu ia lakukan saat ia tidak ingin diganggu, didebat, diinterupsi ... Saat ia sudah menutup hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Jadi, ku ikuti kemauannya, diam.
Jus di gelas Em habis. Ia melemparkan gelas itu ke tong sampah di depan kami, namun lemparannya meleset. Ia mendengus seraya menggerakkan bibirnya ke satu sudut. Lalu, ia mengambil minyak kayu putih dan merapusnya di tangannya, kemudian ke balik kaus longgar yang ia kenakan.
"Bagaimana dengan, Adri? Ia tahu?"
Gadis berambut burgundy itu menarik nafas panjang. "Sebenarnya kami sudah putus sebulan yang lalu, ia tidak tahan dengan kondisi keluargaku."
Sesuatu menghentak hatiku. Karena itukah?
"Tapi bukan karena itu aku memilih untuk pergi ke Lombok. Bukan semata-mata untuk menyusulnya. Aku bukan lagi remaja labil yang dimabuk cinta," imbuhnya, menjawab pertanyaanku. Lalu tawanya yang renyah mengisi udara. Bersama dengan mata yang menyempit dan melengkung menyerupai bulan sabit. Andai saja, Tuhan memberikannya kehidupan yang seindah matanya.
"Tiga bulan yang lalu, saat aku berlibur ke rumahnya, aku menemukan sebuah rumah sederhana. Perabotannya pun demikian, hampir semuanya plastik. Aroma di rumahnya pun demikian, hanya aroma yang berasal dari bunga melati depan rumah. Dan itu membuatku nyaman," Em menarik nafas panjang, mungkin dalam bayangannya ia tengah membaui bunga putih kecil itu.
Aku tertawa miris. Aku paham maksudnya. Tentu saja ia akan memilih semua itu dibandingkan dengan rumahnya yang penuh dengan perabotan pecah belah yang setiap harinya pecah. Tentu saja ia akan memilih aroma melati dibanding aroma gin, tonic, beer atau batangan marlboro yang dibakar.
"Satu lagi, di sana sepi."
Tawaku mengeras namun hatiku sakit. Seolah-olah semua beban Em dipindahkan ke bahuku. Ya, akupun mungkin tidak tahan dengan suara-suara di sana. Bercampur aduk menjadi simphony yang terdiri dari teriakan-teriakan, kemarahan dan tangisan. Hitam.
Kami terdiam. Dari pengeras suara, petugas menyebutkan sederet nomor penerbangan dan memberikannya panggilan.
"Well, aku harus pergi. Terimakasih sudah menemaniku selama ini," ia memelukku ringan.
"Tapi aku sudah gagal membuatmu bertahan," jawabku miris. "Eh, tapi kau akan tinggal di mana?"
Em tersenyum tipis. Ia merogoh kantung jaketnya lalu menyerahkan selembar kertas padaku. "Untukmu."
Foto.
Foto USG.
"Sudah tiga bulan," ujarnya seraya menunjuk perutnya yang tertutupi kaus longgar itu. Nada suaranya berisi buncahan-buncahan kebahagiaan.
"Em, kau dan dan Adri kan sudah ... Ehm, bagaimana kalau nanti dia tidak ...,"
"Aku akan mencari tahu jawaban itu nanti," ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia berbalik, melangkah menjauhiku. Membawa koper biru mudanya. Saat itu aku sadar, ia akan seutuhnya pergi dari sini.
"EM!"
Em menoleh.
"Aku bisa kembali kapan saja. Aku akan menunggumu."
Em tersenyum, membingkai giginya yang rapi dengan bibirnya yang tipis. Lalu ia melangkah lagi.
Aku menatap foto hitam putih itu.
"Tinggalkan yang lain untuk dapatkan yang lain. That's courage."
~Fin~
#14DaysofInspiration
Komentar
Posting Komentar