Langsung ke konten utama

FAIL *1




"Aku mau aborsi," suaranya yang tenang seperti denting lonceng gereja.

"Tuk."

Alat itu jatuh dari tangan Bintang. Berguling-guling sebelum akhirnya terhenti di rumput.

 Pria berambut eboni itu menatap kekasihnya lekat-lekat. Baru saja Auri memperlihatkan dua garis di alat itu, sekarang ia meremas jantung Bintang dengan rencananya itu.

"Ka... Kamu yakin, Ri?" Bintang tergagap. Ia cari-cari kegetiran pada sosok Auri. Namun wanita yang berdiri menghadap matahari itu, yang membiarkan cahaya keemasan menimpa rambut dan kulitnya itu, terlihat tegar.

Sudut bibir kanan Auri sedikit terangkat, meringis "Tentu saja. Aku tidak mau merusak masa depanku hanya untuk jabang yang belum berbentuk."


"Auri. Tunggu dulu. Kamu... Kamu tidak bisa memutuskan sendiri. Itu... Dia... anak kita," Bintang menyelesaikan kalimatnya dengan susah payah. Ia menarik lengan Auri agar wanita itu duduk di sampingnya.

"Maksudmu? Kamu mau aku membiarkannya tumbuh?" Auri menelengkan kepalanya. Menatap ke arah bintang dengan mata hitamnya yang bundar dan lebar. Alisnya terangkat. Bibir peachnya mengerucut. Tak lebih, tak ada ekspresi kegentaran.

"Bukan... Maksudku... Er... Arghh!!" Bintang mengacak-ngacak rambutnya. Tentu saja ia tahu menjadi orang tua di usia muda bukanlah hal yang mudah. Namun, untuk mengaborsi? Itu kan sama halnya dengan membunuh.

Bintang mengatupkan matanya rapat-rapat. Dadanya terasa pepat. Perlahan, ia gerakkan jemarinya untuk meremas kausnya di bagian dadanya. Mencoba berkomunikasi dengan Tuhannya. Mencoba berdialog dengan Tuhan. Mencoba mencari keadilan di tempat Tuhan. Ia tak bisa menerima masalah ini. Belum. Kepalanya selama ini penuh dengan musik dan bandnya. Tak pernah sekalipun terbesit akan menjadi orangtua di usia muda. Kenapa Tuhan tak berikan saja bayi itu pada pasangan yang menginginkannya?

Lagipula, mereka hanya 'melakukannya' satu kali. Singkat dan disertai pengaman, pula. Sementara pasangan lain yang seringkali keluar masuk hotel, selalu mendapat garis satu. Kenapa harus mereka?

"Hhh..." Auri menghembuskan nafasnya melihat Bintang yang diam. Lalu ia mengambil tespek yang tergolek di rumput. Ia usap-usap dengan jemarinya seakan benda itu begitu berarti untuknya. "Bin, keputusan terbaik yang bisa kita ambil adalah menggugurkannya. Akan ada terlalu banyak masalah kalau kita membiarkannya lahir," ujarnya lembut. Mata cokelat beningnya memandang senja yang mulai merekah.

Bintang membuka matanya. Lalu menatap Auri. Setengah tak percaya kalau Auri akan sedemikiannya memilih untuk menggugurkan kandungannya. Tidakkah Auri memiliki sisi keibuan yang muncul bersamaan dengan janinya? Tapi... emmphh... Kalau Auri memiliki sisi keibuan itu, apa ia akan sanggup untuk bertanggung jawab? Pikiran Bintang masai.

"Ri, berikan aku waktu untuk berpikir. Aku..."

"Sampai kapan, Bin? Sampai perutku membesar dan semua orang tahu aku hamil? Lagipula, berapa lamapun kamu memikirkan itu, menggugurkan kandunganku tetap menjadi keputusan terbaik untuk kita," suara Auri meninggi.

"Tapi, Ri..."

"Tapi apa?! Sudah tidak ada alasan untuk membiarkan dia lahir. Aku sudah mengurus visaku untuk kuliah di Perancis. Kamu juga akan memulai debut bersama band indiemu. Apa kita bisa seperti itu kalau kita mengurus anak? Kalaupun kita mengabaikan mimpi-mimpi kita, apa kita bisa merawat anak itu dengan baik? Kita baru saja lulus SMA. Belum punya pekerjaan. Kalaupun kamu mau bertanggung jawab, menyetujui pilihanku adalah cara terbaik untukmu bertanggungjawab!" Emosi Auri meningkat. Matanya mulai berair, pertahanannya mulai runtuh.

"Ri, kamu tidak kasihan padanya?" Bintang tercekat akan kata-katanya sendiri. Tidak, bukan itu yang ingin ia ucapkan. Memang benar ia kasihan pada calon bayi itu. Tapi Auri benar, menjadi orangtua di usia muda sama saja artinya dengan mengorbankan mimpi-mimpi mereka.

"Kasihan? Harusnya kita mengasihani diri kita sendiri!" Auri mulai terisak. Bahunya naik turun seiring dengan tarikan nafasnya yang payah.

"Ri, Auri... Tuhan pasti akan memberi solusi untuk masalah kita, sabarlah," Bintang meraih lengan Auri, mengusapnya lembut sebelum mencium puncak kepala kekasihnya itu.

Namun Auri mendorong dada Bintang agar ia menjauh, "Kamu tidak sadar, Bin? Solusi terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita adalah menggugurkan kandungan ini. Beruntung aku menyadarinya saat ia belum berbentuk. Itu artinya, Tuhan memberi kemudahan bagi kita untuk menggugurkan kandungan ini."

Bintang berdiri dari bench. Lalu ia menatap mata kekasihnya itu lurus-lurus. "Auri! Kenapa yang ada di kepalamu hanya aborsi?! Pikirkan juga kemungkinan lain!!" suara parau Bintang mengisi lapangan basket sekolah mereka.

"Tidak ada kemungkinan lain untuk kita! Kenapa kamu tidak mengerti!!" kini lengkingan Auri yang memecah udara. "Membiarkan anak ini hidup sama artinya dengan menghancurkan hidup kita!!" jerit Auri. Lalu ia berlari meninggalkan Bintang.

"Auri... Tunggu! Bukan itu maksudku, Aurii..." Bintang tak patah arang. Ia kejar gadis bermata cokelat itu.

Belum... Semuanya belum selesai.


To Be Continued


Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...