Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2013

FAIL *1

"Aku mau aborsi," suaranya yang tenang seperti denting lonceng gereja. "Tuk." Alat itu jatuh dari tangan Bintang. Berguling-guling sebelum akhirnya terhenti di rumput.  Pria berambut eboni itu menatap kekasihnya lekat-lekat. Baru saja Auri memperlihatkan dua garis di alat itu, sekarang ia meremas jantung Bintang dengan rencananya itu. "Ka... Kamu yakin, Ri?" Bintang tergagap. Ia cari-cari kegetiran pada sosok Auri. Namun wanita yang berdiri menghadap matahari itu, yang membiarkan cahaya keemasan menimpa rambut dan kulitnya itu, terlihat tegar. Sudut bibir kanan Auri sedikit terangkat, meringis "Tentu saja. Aku tidak mau merusak masa depanku hanya untuk jabang yang belum berbentuk."

DAY #3 : KAU BAHAGIA?

KAU BAHAGIA? Gerimis. Begitu khidmatnya ia memandang jendela yang berembun itu. Mengacuhkan jemarinya yang gemetar, terlalu lama bermain dengan dingin. Sementara tangan yang lain tetap mengelus perutnya. Ah, kau merasakan gerakannya? Lamat-lamat, aku mendekatinya, "Lye ..." Ia memandangku sejenak dengan bola matanya yang sendu. Warna cokelat di sana sudah tak secerah dulu. Lalu, ia kembali memandang rintik hujan di luar jendela. Mungkin baginya hujan lebih menyenangkan daripada aku. "Lye, ini susunya," kusodorkan tatakan bersama gelasnya. Lagi, Lye menatapku. Namun hanya sejenak sebelum ia mengambil susu itu. Jemarinya tersentak saat ia menyentuh tanganku. Ah, begitu tak sukakah kau padaku. Lye menegak minuman itu sambil menutup hidungnya. Sekali, dua kali, ia hendak mengeluarkan cairan yang sudah ia minum. Namun ia tetap bertahan. Aku tahu ia sakit. Tapi, tak sekalipun ia meminta pertolonganku. Sekalipun ia tahu aku sangat menginginkannya

DAY #2 RAIN, PLANE AND HAPPINESS

RAIN, PLANE and HAPPINESS Mencapai titik kondensasinya, awan meluruh. Gumpalan-gumpalan hitam itu menghujam bumi dengan panah-panah airnya. Yang semula hanya sebesar butiran pasir, kini hantamannya laiknya kerikil. "Kamu serius, Em?"  Emily tetap memandang orang-orang yang sibuk dengan koper-kopernya. Tangannya menggenggam gelas plastik dengan cairan kental putih di dalamnya, jus sirsak. "Iya. Makanya aku memanggilmu. Aku ingin memberitahu orang yang sudah menganggapku penting," jawabnya pelan. Lalu menyeruput minumannya lagi. Tangannya yang putih terlihat gemetar. Dia sedang menahan emosinya. "Kau akan meninggalkan rumahmu?"

Day #1 : TRUST ME

TRUST ME Perempuan bertubuh mungil itu berdiri tegak di depan gerbang. Menunggu sosok yang sudah membuat janji dengannya siang ini. "Ed!" Begitu mendengar nama itu, ia memfokuskan mata di balik kacamatanya. Hingga menemukan pria pemilik nama yang tengah berjalan menuju gerbang. Pria itu berjalan santai dengan ransel yang disandang di bahu kirinya. Dasi abu-abunya mengikat kerahnya longgar. Seragamnnya pun tak sepenuhnya masuk di balutan ikat pinggang hitamnya. "Ed!" seorang gadis berpita putih berlari-lari kecil menuju pria itu. "Eddd!!" suara yang melengking mengisi seantero lapangan. Sempat membuat perhatian seluruh lapangan terpusat pada gadis berambut panjang dengan rok abu-abunya yang pendek. Ed menatap gadis itu dengan heran, namun ia tetap menyambunya dengan senyum yang terbingkai bibir tipisnya. "Kamu privat sama Mbak-Mbak itu? ... " samar-samar perempuan itu mendengar perkataan hawa yang ada di samping Ed. Ia tersenyu

MY REAL PRINCE

"Apalagi yang kamu tonton?" suara rendahnya menyergapku. "Suisei No Gargantia ...,hoaammm," jawabku malas sambil meletakkan tas di atas meja. Gantungan SAO ku bergoyang-goyang sejenak sebelum membentur kayu meja. "Kau tahu? Harusnya kau mengurangi kebiasaan burukmu itu," nasaihatnya, ia meletakkan pantatnya di bangku lalu membaca kumpulan rumusnya. "Kau tahu? Harusnya kau mengurangi kebiasaanmu untuk menasihatiku," dengusku. Dia hanya menjawab dengan gerakan memperbaiki posisi kacamatanya. "Cikaaa, ayo ikut ke ruang musik. Bandku punya lagu baru." Tiba-tiba, pria dengan rambut kaku tajam dan berantakan itu datang dengan langkahnya yang panjang. Tiga pria serupa mengekorinya. "Pak Bambang tidak masuk?" tanyaku. Ia hanya tersenyum lebar dan menggeleng. "Makanya aku mengajakmu," katanya sambil menopangkan tangannya di meja. "Duduk, Ton," Kennu berdiri dari sisiku, lalu ia berjalan ke papan t