Langsung ke konten utama

Day #1 : TRUST ME


TRUST ME




Perempuan bertubuh mungil itu berdiri tegak di depan gerbang. Menunggu sosok yang sudah membuat janji dengannya siang ini.

"Ed!"
Begitu mendengar nama itu, ia memfokuskan mata di balik kacamatanya. Hingga menemukan pria pemilik nama yang tengah berjalan menuju gerbang. Pria itu berjalan santai dengan ransel yang disandang di bahu kirinya. Dasi abu-abunya mengikat kerahnya longgar. Seragamnnya pun tak sepenuhnya masuk di balutan ikat pinggang hitamnya.

"Ed!" seorang gadis berpita putih berlari-lari kecil menuju pria itu.

"Eddd!!" suara yang melengking mengisi seantero lapangan. Sempat membuat perhatian seluruh lapangan terpusat pada gadis berambut panjang dengan rok abu-abunya yang pendek. Ed menatap gadis itu dengan heran, namun ia tetap menyambunya dengan senyum yang terbingkai bibir tipisnya.

"Kamu privat sama Mbak-Mbak itu? ... " samar-samar perempuan itu mendengar perkataan hawa yang ada di samping Ed. Ia tersenyum kecil. Mbak-Mbak? Privat? Oh, perempuan itu merasa perasaannya sedikit terhentak.


"Aurii!!"
Perempuan itu tersenyum lebar. Akhirnya Ed bisa mencapai tempat berdirinya itu. "Sudah lama nunggunya?" tanya Ed lagi. Dari dekat, Auri bisa melihat warna cokelat samar di sana. "Kita kemana?" tanyanya lagi setelah Auri menggelengkan kepala.

"Perpustakaan saja. Kau bilang kau ingin menyelesaikan file presentasi biologimu." Auri menatap lekat-lekat pada Ed. Menatap seragam dan celana abu-abunya. Lalu ia mengingat apa yang ia pakai, cardigan dan celana katun, serta tas jinjing hitamnya.

"Baiklah, ayo pergi."

"Ed, kau tak malu?" Auri menarik ujung seragam Ed yang keluar.

"Hah? Kenapa?" Ed mengangkat alisnya.

"Maksudku, kau tak malu bersama dengan Mbak-Mbak?" tanya Auri pelan.

Seketika, tawa Ed pecah. "Kau memikirkan itu? Kau lebih percaya pada Cella daripada aku yang setiap hari   bersamamu?"

Auri tersenyum tipis. Sesungguhnya ia percaya, hanya saja ia sedang ingin menggoda Ed. "Namanya Cella, ya?" timpalnya, kembali melanjutkan permainannya. "Ayo pergi," Auri melepaskan tangannya dari ujung seragam Ed, lalu melangkahkan kakinya yang dibalut selop hitam.

"Besok aku akan ceritakan pada semua orang di sekolah, kalau aku yang kelas dua belas ini pacaran dengan     mahasiswi semester 4 yang sekaligus menjadi guru privatku," tiba-tiba Ed menangkap lengan Auri, menahan gadis itu dari gerakannya.

"Kau bohong," Auri terkekeh.

"Tidak, besok hari Kamis. Dan aku akan mengumumkannya di siaran radioku di sekolah," serius Ed.

"Hah?" Auri tersentak. Astaga, ia lupa hal akan hal itu.

"Trust me, Baby," bisik Ed. Sebelum tawanya kembali berderai.

Auri, ia jatuh di permainannya sendiri. Harusnya ia tak perlu menyatakan keraguannya saat ia percaya.

Fin


#14DaysofInspiration


Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...