Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

SEMUT-SEMUT HITAM DI DINDING DAPUR

Setiap manusia saling terhubung, suka maupun tidak suka. Setiap manusia akan memiliki arti keberadaannya, penting maupun tipis bak udara. Setiap manusia selalu ... Barisan semut di dinding dapur semakin rapat. Memilin rantai hitam tipis pada tembok berwarna biru. Secara teratur datang lalu pergi setelah membawa secuil kue tart yang teronggok begitu saja di wastafel. Icing  kue menodai dinding tembok, permukaan meja dan mengenai lantai. Hingga akhirnya, memunculkan perkumpulan baru dari semut-semut hitam yang bersarang entah di bagian mana rumah ini. Vibrato rapuh Taylor Swift menggema di ruang utama. Kata demi kata dari 'White Horse' memenuhi udara di ruang yang tak seberapa besarnya itu. Memantul di nakas yang berdebu. Memantul di sofa yang berantakan. Memantul di karpet yang sudah usang. Memantul juga pada permukaan foto-foto yang menguning di dinding-dinding. Beberapa semut hitam tampaknya tersesat dan malah menjelajah permukaan lantai keramik. Warna mereka begit

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana

Me and My Significant Other, Rain, Broken Gate

Moonlight Sonata dalam mode loop  mengalun dari speaker  mobil. Kau menatap rintik hujan yang jatuh di kaca depan mobil, seolah-olah tetesan air itu lebih memilukan daripada masterpiece  Beethoven ini. Bahumu yang selalu tegap kini tampak berbeda. Tanganmu tergolek lemas di setir mobil. Sesekali kau mengetuk-ngetukkan jemarimu perlahan. Entah mengikuti tempo hujan atau instrumental biola yang kau pilih sejak awal perjalanan kita. Aku menarik napas panjang. Pintu pagar sudah terbuka lebar. Bik Iyem sudah membukanya untuk kita, sepuluh menit yang lalu, seperti yang ku pinta padanya lewat pesan pendek. Namun, Bik Iyem tampaknya salah sangka, sebab pintu terbuka terlalu lebar.  "Lusia, tolong aku. Ku mohon," akhirnya kau bersuara. Suara baritonmua yang gagah kini selemah anak kucing. Aku menunduk, menatap Levis abu-abu yang kupakai. Ah, warna matamu juga abu-abu. Aku mengalihkan pandangan ke depan. Menatap tembok rumah yang berwarna kuning, "Lebih baik," pikirku.