Langsung ke konten utama

My Dandelion Boy



Originall idea from @Detariesandy


MY DANDELION BOY

Serpihan-serpihan kecil pengantar harapan itu terbang. Patuh pada lajur angin. Entah kemana mereka akan membawa doa-doaku pergi. Mungkin ke malaikat? Lalu malaikat akan membawanya ke Tuhan. Selanjutnya Tuhan akan mengabulkan doa itu dengan mengirimmu ke sisiku. Kenapa kamu? Karena namamulah yang kutulis di doa-doa itu. Doa-doa dandelion.

Kamu memang bukan orang pertama yang membuatku berpikir akan cinta.

Kamu juga bukan orang pertama yang sering melipir-lipir kertas dan menyelipkannya di buku tulisku. Maksudku, surat cinta.

Kamu juga bukan orang pertama yang membuat mataku selalu waspada, karena ingin mengikutimu.

Tapi kamu orang pertama yang mengajarkanku pada harapan. Lebih tepatnya harapan-harapan dandelion.

Selayaknya batang dandelion yang lurus dan tinggi, kamu adalah orang mandiri dan tidak menyukai popularitas. Tapi kamu bisa menahan rasa sepi itu, dan mengalahkannya dengan menghasilkan pencapaian yang luar biasa. Tepat seperti dandelion yang mampu bertahan hanya dengan sedikit hujan.


Dandelion.

Bunga ilalang itu adalah benda yang bisa membuatku jujur akan perasaanku sendiri. Karena aku tahu bulu-bulu kecilnya akan membawa rahasia itu pergi tanpa kata, lalu terjatuh dan tumbuh dandelion-dandelion baru. Tempat di mana aku bisa bercerita lagi. Persis sepertimu, bisa membuatku jujur akan cinta, lalu membiarkannya jatuh dan menjadi cinta-cinta lain yang tertuju hanya padamu.

Aku seringkali menemukan bayangan wajahku yang tersenyum di kaca jika mengingat cinta itu. Rasa cintaku padamu. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja, bak dandelion yang dapat tumbuh begitu saja. Tak tahu aku apa yang membuatku menyempitkan duniaku hanya padamu, layaknya aku yang menyerahkan harapanku pada sebatang dandelion. Apa senyummu? Wajah manismu? Tubuhnya yang tinggi namun tak terlalu tegap? Langkahmu yang panjang? Ah, semua tentang fisik itu tak berarti. Karena nyatanya, aku pun mencintai bunga bulat yang bewarna abu di tengah warna-warni dunia bunga. Aku mencintai dandelion yang sederhana, sama seperti rasaku padamu.

Sempat, aku kehilangan dandelion-dandelion karena hujan lebat yang terus mengguyur. Membawaku pada kenyataan bahwa aku kalut karenanya, tak bisa meniup bunga gemulai itu demi mengantar sebaris harapan. Sekalut apa aku kehilangan dandelion? Sekalut saat aku kehilanganmu. Saat aku melihatmu pergi dengan tangan tergenggam. Karena tak ada lagi yang akan mengajarkanku tentang harapan.

Hingga, begitu hujan turun. Membawa reruncing-reruncing air yang menusuk-nusuk tanah hingga basah. Menggugurkan bulu-bulu halus dandelion. Serta menjadi tirai pemisah antara aku dan dirimu yang tengah menjamu harapanmu, wanitamu. Aku akan duduk diam, mengupas memoarku tentang dandelion. Tentu saja mengupas memori tentangmu juga. Bagaimana kau membawakanku hadiah berupa harapan. Alat terkuat untuk tetap bertahan. Serta, bagaimana kau berikan aku setangkai dandelion yang kini menjadi simbol akan dirimu. Biarkan aku memasukkan bawang merah ke kisah ini, karena mengingat kalian berdua, -dandelion dan dirimu- serupa dengan mengupas bawang merah. Mudah tetapi membuat air mataku jatuh.

Sentuhan tipis pun, bisa membuat surai-surai dandelion terburai. Karena itu dandelion bukanlah bunga yang layak didapat oleh seorang yang kejam, dandelion bunga yang halus. Ya, seperti kamu. Karena kamu adalah dandelion dalam genggaman. Di balik ketegaranmu yang mampu hidup di tanah gersang dengan sisa-sisa hujan, hatimu adalah sesuatu yang tipis. Sedikit luka akan meretakkannya, lalu membuatnya hancur. Karena itu, aku tahu apa yang kau rasakan saat ia meninggalkanmu. Karena aku sempat tahu, bagaimana rasanya saat harapanmu pergi meninggalkanmu.

“Kau mau kemana?”
“Kau sudah bangun? Aku mau membuat sarapan,” ucapku seraya menyisir rambutku dengan jari.
“Hmm... Buat yang mudah dimasak saja ya, kita sarapan di sana.”
Aku menatap ke arah balkon. “Baik, tunggulah sebentar,” janjiku sebelum pergi ke dapur dan mulai membakar roti.

Dan beberapa saat kemudian, disinilah aku, berdiri seraya diam-diam menatap cahaya keemasan yang jatuh di sesuatu bewarna hitam eboni, cokelat tua dan sawo matang. Rambutmu, matamu dan kulitmu. Menikmati kontur lekuk dari Adam yang Tuhan ciptakan untukku. Bagaimana bibirmu sedikit berjingkat, tersenyum. Bagaimana cara matamu menyadari kehadiranku, lalu aku akan datang padamu dengan nampan berisi sarapan kita. Sejenak kemudian, aku kembali jatuh di pesonamu, menggilaimu suaramu, saat kau berkata, “Aku sangat beruntung bisa melihatmu sebagai orang pertama di setiap pagiku,” atau “Aku mencintaimu.”

Hal yang terpenting dari dandelion adalah serabutnya, serpihan-serpihannya yang terbang mengikuti angin. Naik turun, melayang beberapa lama di lapisan udara. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menghentikan penerbangan mereka, jatuh di suatu tempat yang sesuai lalu tumbuh menjadi dandelion-dandelion baru, yang akan membawa harapan-harapan lain. Dan kau, seseorang dengan intuisi setajam dandelion. Memutuskan apa yang harus kau putuskan, dengan tepat. Laiknya serabut dandelion yang paham di mana ia harus berhenti untuk tumbuh menjadi dandelion baru. Karena itu, aku begitu bahagia saat kau menjadikanku tanah tempatnya mendarat. Tempatmu menumbuhkan harapan-harapanmu. Harapan-harapan kita.

Akhirnya, aku paham, doa-doa dandelionku terkabulkan. Karena Tuhan memberikanku seorang pria dengan serumpun dandelionnya.

Dan jika kau tak mengucapkan keduanya, aku akan menyukai bibirmu. Yang dengan lembut mengecupku di bawah terpaan surya keemasan.

Terimakasih telah mengajarkanku tentang harapan. Karena aku bisa berharap tentangmu.

Setiap pagi, aku menemukan diriku berucap, “Aku mencintaimu,” pada dirimu yang tersenyum tulus saat mendengarnya.
Ah, ya. You’re my perfect dandelion boy.

2:55 AM
21/04/2013
Kamar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...