Mungkin setahun yang lalu, saat aku duduk di bangku nomor dua dari depan. Dengan khidmat melipat tangan di atas buku bahasa Indonesia, guruku bertanya. “Anak-anak, kalian memilih untuk mencintai atau dicintai?” tanyanya. Suaranya yang halus mengisi kubikel-kubikel udara di kelas kami. Puluhan temanku yang lain riuh rendah menyatakan pendapatnya. Sementara aku masih menimang-nimang dua pilihan itu. Memikirkan baik dan buruknya. Tak kunjung menentukan pilihan hingga beberapa temanku mengutarakan alasan akan pilihan mereka. Sebagian besar dari mereka memilih untuk dicintai. “Bu, saya memilih untuk mencintai,” selaku. Setengah memaksa guruku untuk memberikan kesempatan berbicara padaku.
Pada kemerlap itu aku bercerita tentang cinta.