Langsung ke konten utama

DAY #3 : KAU BAHAGIA?

KAU BAHAGIA?


Gerimis.
Begitu khidmatnya ia memandang jendela yang berembun itu. Mengacuhkan jemarinya yang gemetar, terlalu lama bermain dengan dingin. Sementara tangan yang lain tetap mengelus perutnya. Ah, kau merasakan gerakannya?

Lamat-lamat, aku mendekatinya, "Lye ..."

Ia memandangku sejenak dengan bola matanya yang sendu. Warna cokelat di sana sudah tak secerah dulu. Lalu, ia kembali memandang rintik hujan di luar jendela. Mungkin baginya hujan lebih menyenangkan daripada aku.

"Lye, ini susunya," kusodorkan tatakan bersama gelasnya. Lagi, Lye menatapku. Namun hanya sejenak sebelum ia mengambil susu itu. Jemarinya tersentak saat ia menyentuh tanganku. Ah, begitu tak sukakah kau padaku.

Lye menegak minuman itu sambil menutup hidungnya. Sekali, dua kali, ia hendak mengeluarkan cairan yang sudah ia minum. Namun ia tetap bertahan. Aku tahu ia sakit. Tapi, tak sekalipun ia meminta pertolonganku. Sekalipun ia tahu aku sangat menginginkannya.

"Mas, kamu tak perlu melakukan ini. Aku bisa membuatnya sendiri di dapur," ujarnya, sesendu matanya. 

"Sudahlah. Sebagai calon ayah, aku kan..."


"Kamu bukan ayahnya, Mas! Dia anakku sendiri!" teriaknya parau seraya menangkup perutnya yang setengah bundar itu dengan lengannya.

Selalu begini. Selalu berusaha tegar sendiri. Lye, tidakkah kau lihat aku siap berbagi pundak untukmu?

"Lye, aku adalah milikmu. Apa yang tengah kau jaga, akan kujaga juga," aku mendekatinya. 

Lye semakin meringkuk di sofa. Tangannya memegang erat gelas kosong itu sementara matanya menyiratkan pertahanan yang dalam. "Aku adalah suamimu, jadi dia adalah anak kita," aku duduk di sisinya.

"Mas, kamu tak perlu melakukan ini sejak awal. Kamu tak perlu mengorbankan hidupmu untuk aku dan anak ini. Menikahiku hanya mempersulit hidupmu, ditambah lagi ..." 

"Sudahlah Lye, hentikan ..." Aku tahu apa yang akan dia ucapkan. Mendikteku lagi kalau apa yang tengah hidup di perutnya itu bukan dari benihku. Sudahlah, Lye. Aku paham semua itu.

Kutarik nafas panjang. Aku tidak tahu dia akan menyukainya atau tidak, tapi "Lye, kau tak perlu menanggung semuanya sendiri. Aku suamimu. Berbagilah padaku. Dan ini..." aku menatap perutnya. "Akan menjadi milik kita bersama."

Lye gemetar. Sudut matanya mulai basah. "Mas... Tapi,"

"Kecuali kau tidak bahagia bersamaku, maka aku akan melepasmu Lye. Karena bahagiamu adalah bahagiaku ..." Aku bangun dari dudukku. Biarkanlah ia pikirkan dulu apa pilihannya. Selama ini ia mungkin menganggapku sebagai pria naif yang menikahi wanita yang sudah memiliki benih dari orang lain di perutnya. Tapi biarlah, biarlah ia pahami dulu apa maksudku. 

"PRANGG!!" gelas pecah dan belingnya berhamburan di antara kami.

"Mas!" Lye menarik bajuku. "Mas, maafkan aku. Aku... Aku akan bahagia jika bersamamu, Mas."

Segera, aku memeluk Lye. Menghirup aroma orang-aring dari rambutnya. Samar, aku merasakan gerakan di perutnya.


"Kau juga bahagia, Nak?"


~fin~

#14DaysofInspiration



Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...