KAU BAHAGIA?
Gerimis.
Begitu khidmatnya ia memandang jendela yang berembun itu. Mengacuhkan jemarinya yang gemetar, terlalu lama bermain dengan dingin. Sementara tangan yang lain tetap mengelus perutnya. Ah, kau merasakan gerakannya?
Lamat-lamat, aku mendekatinya, "Lye ..."
Ia memandangku sejenak dengan bola matanya yang sendu. Warna cokelat di sana sudah tak secerah dulu. Lalu, ia kembali memandang rintik hujan di luar jendela. Mungkin baginya hujan lebih menyenangkan daripada aku.
"Lye, ini susunya," kusodorkan tatakan bersama gelasnya. Lagi, Lye menatapku. Namun hanya sejenak sebelum ia mengambil susu itu. Jemarinya tersentak saat ia menyentuh tanganku. Ah, begitu tak sukakah kau padaku.
Lye menegak minuman itu sambil menutup hidungnya. Sekali, dua kali, ia hendak mengeluarkan cairan yang sudah ia minum. Namun ia tetap bertahan. Aku tahu ia sakit. Tapi, tak sekalipun ia meminta pertolonganku. Sekalipun ia tahu aku sangat menginginkannya.
"Mas, kamu tak perlu melakukan ini. Aku bisa membuatnya sendiri di dapur," ujarnya, sesendu matanya.
"Sudahlah. Sebagai calon ayah, aku kan..."
"Kamu bukan ayahnya, Mas! Dia anakku sendiri!" teriaknya parau seraya menangkup perutnya yang setengah bundar itu dengan lengannya.
Selalu begini. Selalu berusaha tegar sendiri. Lye, tidakkah kau lihat aku siap berbagi pundak untukmu?
"Lye, aku adalah milikmu. Apa yang tengah kau jaga, akan kujaga juga," aku mendekatinya.
Lye semakin meringkuk di sofa. Tangannya memegang erat gelas kosong itu sementara matanya menyiratkan pertahanan yang dalam. "Aku adalah suamimu, jadi dia adalah anak kita," aku duduk di sisinya.
"Mas, kamu tak perlu melakukan ini sejak awal. Kamu tak perlu mengorbankan hidupmu untuk aku dan anak ini. Menikahiku hanya mempersulit hidupmu, ditambah lagi ..."
"Sudahlah Lye, hentikan ..." Aku tahu apa yang akan dia ucapkan. Mendikteku lagi kalau apa yang tengah hidup di perutnya itu bukan dari benihku. Sudahlah, Lye. Aku paham semua itu.
Kutarik nafas panjang. Aku tidak tahu dia akan menyukainya atau tidak, tapi "Lye, kau tak perlu menanggung semuanya sendiri. Aku suamimu. Berbagilah padaku. Dan ini..." aku menatap perutnya. "Akan menjadi milik kita bersama."
Lye gemetar. Sudut matanya mulai basah. "Mas... Tapi,"
"Kecuali kau tidak bahagia bersamaku, maka aku akan melepasmu Lye. Karena bahagiamu adalah bahagiaku ..." Aku bangun dari dudukku. Biarkanlah ia pikirkan dulu apa pilihannya. Selama ini ia mungkin menganggapku sebagai pria naif yang menikahi wanita yang sudah memiliki benih dari orang lain di perutnya. Tapi biarlah, biarlah ia pahami dulu apa maksudku.
"PRANGG!!" gelas pecah dan belingnya berhamburan di antara kami.
"Mas!" Lye menarik bajuku. "Mas, maafkan aku. Aku... Aku akan bahagia jika bersamamu, Mas."
Segera, aku memeluk Lye. Menghirup aroma orang-aring dari rambutnya. Samar, aku merasakan gerakan di perutnya.
"Kau juga bahagia, Nak?"
~fin~
#14DaysofInspiration
Komentar
Posting Komentar