Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

EPISODE

“Mainnya lagi seru, nih. Kenapa nggak bawa payung, sih ?” Dinan menghela napasnya. “Ngerti artinya lupa, nggak ? Kalau kamu nggak datang bawa payung, aku terpaksa diam di sini sampai hujan reda. Padahal Mas-masnya sudah mulai bersih-bersih.” “...” “Arka?” “Mm... Iya. Apa tadi?” Kalau saja, Arka ada di depannya. Sudah pasti Dinan akan mencakar-cakar muka pria songong itu. Dinan baru saja hendak menumpahkan sebatalion kekesalan saat suara bass Arka terdengar, “ I’ll be there.” Sambungan terputus. Hujan yang semula hanya berupa gerimis, menderas semenjak tiga puluh menit yang lalu. Dinan yang duduk di sebelah jendela melihat dengan jelas bagaimana butiran hujan melesat dan membentur segala permukaan. Beberapa orang berpayung keluar dari resto cepat saji ini, atau berlari ke arah kendaraan mereka. Dan orang-orang lain yang tak berpayung pun membawa kendaraan pribadi terdiam di sini. Berharap hujan reda secepatnya sebelum restoran ini benar-benar tutup. Dinan m

APE

Namanya Ape ("pe" pada pelangi). Seorang bocah lelaki yang tingginya sedahiku. Waktu itu matahari tengah tertawa. Cuaca yang panas, membuat hari terasa bergulir lambat. Orang-orang di pasar mulai membungkusi sisa jualan. Ibu penjual kopi mulai mencuci gelas-gelas kaca. Penjual ayam tepung mulai menggorengi potongan ayam. Bapak-bapak petugas kebersihan mulai menyapu. Pun, Mamang galon mulai bisa mengantarkan galon-galon pesanan lewat pasar yang mulai lengang.  Kala itu Ape berjalan. Langkahnya tetap sama panjang dan cepatnya, baik di tempat teduh maupun tempat panas. Tangan kanannya memegang selembar uang -dua ribuan-. Sementara tangan kirinya menggaruki segala yang gatal, kepala, lengan, hingga betis yang penuh borok. Matanya berputar kesana-kemari, sementara kakinya tetap membawanya melangkah lurus.Ape mau membeli es jeruk yang dijual dalam plastik bungkusan. Ia hapal betul kalau setelah bertemu penjual gorengan yang bertopi, ia harus berbelok ke arah kanan. Di ujun

Jangan Siksa

I am not the owner of this photo. I took it from google. Thanks for reading. Undu terenyuh menatap badan anak yang terbaring di hadapannya. Berapa banyak luka yang dilalui anak itu sebelum sampai kesini? Lebam, bengkak, sayatan, lepuh, semua bentuk luka itu kontras dengan kulitnya yang putih. Anak itu meringis saat Undu membasuh badannya dengan air hangat. Namun, rasa letih tampaknya tengah menguasainya, karena matanya tetap saja tertutup. Badannya yang ringkih membuat Undu seperti membersihkan selapis tipis kulit yang siap robek kapan saja.  Dikatakan, Tuhan telah memperhitungkan segalanya. Bahkan sehelai rambut pun tak akan jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Semua manusia sudah ditentukan jalannya. Tinggal bagaimana cara mereka melangkah ke rengkuhan-Nya. Ya, Undu tahu itu. Semasa kecil dulu, guru mengajinya di surau selalu berkata demikian. "Allah tidak pernah pilih kasih. Semua sudah dibagi dengan adil. Manusia hanya perlu bersyukur." Masih ingat betul ia ba

TERPISAH

Punggungnya sedikit melengkung, bertopang di batang pohon. Rambutnya menari, bermain dengan angin beraroma vanila. “Kau tahu ...,saat aku dewasa nanti ...,” suara rendahnya meluruhkan keheningan di antara kami. Mulai merajut rencana, impian dan ambisinya. “Dan nanti kau akan menjadi ...,” lanjutnya seraya memandangku. Mengisahkan impiannya tentangku. Selalu begitu. Sebenarnya apa yang dia harapkan dariku? Aku tahu, kami sangat dekat. Namun kami juga tak akan pernah bersinggungan layaknya garis sejajar yang berjalan berdampingan namun tidak untuk disatukan. “Wusshh ...” Angin mengibarkan ujung hijabku. Sekaligus menggemerincingkan rantai kalung salibnya. Lihat, alampun sepaham denganku.