Langsung ke konten utama

Bukan Rasa yang Salah



Genre : Romance, Friendship
Word : 4.094

Summary : Kita selalu baik. Tapi, semua kebaikan itu membuatku jenuh.

Authorized : Originnal idea from @detariesandy . 


Dari Nami.
“Putus? Kenapa?” sebuah lonjakan kecil di hati Nami membuatnya menutup novel barunya.
“Mmm... bagaimana, ya. Aku sudah tidak mencintai dia lagi.”
Nami menatap gadis di depannya dengan matanya yang membulat –serius-. Sementara, yang ditatap –Angela- malah asyik melilit jarinya dengan rambutnya.
“Seingatku, baru satu bulan yang lalu kamu bilang kamu mencintainya. Aku masih ingat betul kalau sore itu kamu menceritakan bagaimana bahagianya hatimu melihat Tobi. Seingatku juga, kalian tak pernah bertengkar. Kenapa kamu tiba-tiba ingin memutuskan dia?”
Angela menatap balik Nami, ia menghembuskan nafas perlahan. “Nami, aku juga menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Rasa cinta itu sudah tidak ada,” ucapnya sambil membolak-balik asal novel Nami. “Rasa tidak pernah salah karena tidak bisa disalahkan bukan?” gumamnya.
Nami terdiam. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mencegah Angela. Ia benar, rasa tidak bisa disalahkan. Dan bukan kesalahan Angela atas berubahnya rasa itu.
“Terserah kamu saja. Tapi jangan lukai Tobi terlalu dalam. Aku tak tega melihatnya. Dia pria baik-baik,” Nami mengakhiri pembicaraan. Ia mengemasi buku-bukunya dan beranjak dari Angela. “Ayo pulang. Langit gelap sekali. Aku takut hujan segera turun,” ajak Nami.

...
Hujan turun perlahan. Menjatuhkan rintik-rintik kecil. Nami membuat garis-garis tak jelas di jendela kamarnya yang berembun.
Masih sangat lekat di kepalanya, Angela dan Tobi yang bermesraan. Predikat pasangan sempurna dianugrahkan kepada mereka kala itu, dua orang yang saling mengisi. Masih sangat lekat juga di kepalanya akan cokelat yang terbeli sia-sia.
“Halo, Tobi. Ada apa?”
“Nam, Angela sedang punya masalah ya? Tidak biasanya ia tak mengangkat teleponku,” terdengar suara Tobi dari ujung sana.
Nami terdiam sesaat, ia tak tahu harus menjawab apa. Tobi terlalu baik, ia tak tega melukai hati sahabatnya itu. “Masalah? Aku tak tahu, Bi. Dia tak pernah bercerita kalau dia sedang punya masalah. Kami berbicara seperti biasa.”
“Mm... benarkah? Dia tidak menyinggungku, kan? Maksudnya dia tidak mengatakan kalau dia kesal padaku kan?” getaran khawatir di hati Tobi merambat ke suaranya.
“Maaf, Bi. Dia tidak membicarakanmu tadi.”
“Begitu ya? Aku takut dia marah padaku. Sudah ya, Nam. Aku mau menelpon dia lagi. Semoga kali ini diangkat.”
Begitu telepon ditutup, Nami merasa matanya hangat. Sesaat kemudian, ia bisa mengecap air matanya yang asin.
“Angela. Jangan sakiti, Tobi. Kumohon...”
Pertahanannya runtuh. Ia menangis. Bersama hujan, ia luruh dalam kesedihannya.
Dulu ia merelakan Tobi demi persahabatannya.
Sekarang apa ia harus merelakan persahabatannya dengan Angela demi Tobi?
Nami mengambil ponsel genggamnya. Ia butuh untuk berbicara dengan seseorang.
“Calling Rian”

Dari Rian
“Dari dulu aku sudah bilang, Angela itu bukan cewek baik-baik!”
“Tapi sekarang semua sudah terlanjur. Yang harus kita pikirkan cara supaya Tobi tidak sakit hati. Tobi terlalu baik, Yan.”
“Kalau begitu, biar aku temui Angela. Aku akan menyuruhnya membatalkan keputusannya,” Rian bangkit dari duduknya. Tapi jemari-jemari lentik itu menarik seragamnya.
“Jangan, Yan. Itu hanya akan membuat Tobi semakin tersakiti pada akhirnya,” Nami mengeratkan pegangannya.
“BRAKK!” Rian menggebrak meja. Semua orang di kantin menoleh ke arah mereka.
“Rian... Sabar, please...” Nami menarik lengan Rian sekarang. Khawatir kelakukan Rian akan membangun kesan buruk dari siswa-siswa lainnya.
“Lalu apa harus kita lakukan sekarang?” gumam Rian. Detak jantungnya melambat melihat tatapan memohon dari sahabat kecilnya itu.
“Aku... aku... aku... juga tidak tahu,” ucap Nami sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. “Tobi terlalu baik untuk disakiti. Dan Angela... Angela tidak salah.”
“Angela tidak salah katamu?? Damn!” emosi Rian naik lagi. Ia bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Nami.
“Rian!! Rian!! Rian...”
Rian terus melangkah walau Nami terus memanggilnya. Ia harus mencari Angela, biang keladi dari semua masalah ini.
Dulu, ketika pertama kali Angela masuk ke kehidupan mereka, ia merasa beruntung. Ia merasa, Angela adalah tiang yang bisa menyangga persahabatan mereka untuk tetap utuh.
“Yan... Tobi suka cokelat putih tidak?”
“Yan... Kira-kira Tobi mau menerimanya atau tidak?”
“Hahaha... Besok aku akan membelikanmu cokelat juga. Sabar ya,”
“Mm... sebenarnya aku menyukai Tobi.”
“Aku menyukai Tobi.”
“Suka...” “Suka...” “Tobi...”
Langkah Rian berhenti. Ingatannya akan kalimat-kalimat itu membuat kepalanya terasa pening.
“Aku menyukai Tobi.”
Kalimat itu bergema lagi di kepala Rian. Kali ini ditambah dengan memori akan wajah Nami yang merona merah muda. Wajah khas remaja yang jatuh cinta.
Kala itu Rian hanya bisa ternganga, baru kali itu ia melihat ekspresi Nami yang begitu lain. Namun di lain hal, ia juga merasa sakit.  Sakit hati karena Nami menyukai Tobi. Sakit karena rasa di hati Nami akan menggoyahkan persahabatan mereka bertiga. Cinta memang indah, tapi karena cinta persahabatan yang telah mereka bangun semenjak SD akan goyah. Bisa saja hancur.
Kala itu juga, Rian hendak menghentikan Nami untuk menyatakan cintanya pada Tobi. Tapi, sesuatu menghalanginya... .
“Angela!!” kilas balik pikiran Rian terhenti ketika ia melihat Angela sedang duduk di bangku taman. “Ada... yang... ingin... aku... tanyakan... padamu,” ucapnya sambil menahan marah.
Angela menatap Rian dengan pandangan tak berdosa, ia tersenyum ringan. “Ada apa, Yan?”
“Aku tahu apa yang...” ucapan Rian terhenti. Sesuatu ada di sudut pandangannya. Tobi sedang ada di sana. Berjalan ke arah Angela. “Sial...” desis Rian perlahan. “Aku akan bicara padamu nanti,” lanjutnya lagi. Kemudian ia pergi meninggalkan Angela yang menatap kepergiannya dengan bingung.
Rian naik ke lantai dua. Menuju balkon sekolah. Lansung, terpaan angin menyambutnya.
Di bawah bayangan tembok gudang, Rian duduk. Ia menutup matanya perlahan.
Kembali angin membawanya kembali ke memori setahun yang lalu.
Saat Angela datang dan menawarkan cinta pada Tobi. Hal yang bisa membuat Rian bernafas lega, karena paling tidak persahabatannya dengan Nami dan Rian bisa bertahan lebih lama. Ia tahu, Nami tak akan tega menolak permintaan Angela untuk memasangkan dirinya dengan Tobi. Ia tahu, Nami tak akan memaksakan kehendaknya jika ada orang lain yang berkeinginan sama. Karena Rian melihat sendiri, Nami memasukkan cokelat putihnya yang semula akan diberikan pada Tobi ke dalam lokernya.
“Hosh... Hosh... Rian!! Kenapa kamu tidak masuk kelas? Pak Ivan sudah masuk.”
Nami sudah berdiri di balkon sekolah. Bahunya naik turun karena ngos-ngosan. Kedua alisnya berkerut karena kesal pada Rian yang seenaknya ke balkon sekolah padahal pelajaran fisika sudah dimulai.
“Fisika? Aku mau bolos dulu sekali ini. Aku sedang pusing,” timpal Rian.
“Rian! Bangun! Ayo ke kelas,” Nami melangkah mendekati Rian. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Rian berdiri.
Rian menyambut tangan Nami. Namun bukannya berdiri, ia malah menarik Nami dan membuatnya gadis itu duduk di sampingnya.
“Kita berdua sedang pusing, Mi. Tak usah memaksakan diri. Coba kau rasakan anginnya,” bujuk Rian, tangannya tak juga melepas genggaman Nami. Ia tak ingin gadis itu pergi.
Keheningan mewarnai udara sesaat.
“Yan, kamu belum memberi tahu Angela kan?” tanya Nami.
Rian hanya memberikan gelengan sebagai jawaban.
“Syukurlah...” Nami menghembuskan nafas lega.
“Kamu senang?” Rian menoleh ke arah sahabatnya itu.
“Ya. Terimakasih kamu mau mendengarkanku, Yan.” Nami menjawab sambil tersenyum. Matanya memandang langit biru bersih di depan mereka.
Rian menunduk, melihat ke arah tangan Nami yang masih ada di genggamannya. “Iya... Iya... Sekarang kita istirahat dulu.” Rian memejamkan matanya. Genggamannya tak kunjung ia lepaskan.
Dulu, Rian hendak menghentikan Nami untuk menyatakan cintanya pada Tobi. Tapi, sesuatu menghalanginya... .
Sesuatu di hatinya memintanya untuk tidak membuat Nami sedih karena tidak boleh menyatakan perasaannya pada Tobi. Hatinya ingin Nami selalu bahagia, walau itu artinya membunuh diri sendiri. Dan sampai sekarang rasa itu masih ada.
Sekarang Rian harus memilih.
Merelakan siapa.
Tobi ataukah Nami?
Namun satu hal yang pasti, ia akan dengan sukarela mengorbankan Angela... .

Dari Angela
Ia, ingin memberikan senyumnya yang termanis. Tapi kedatangannya yang tiba-tiba membuat dirinya hanya bisa tersenyum kecil.
“Angela!!” “Ada... yang... ingin... aku... tanyakan... padamu,” nafasnya yang berat membuat pria itu terlihat letih. Maunya, Angela menjawab ‘ya’. Tapi kata itu tak kunjung terucap dari bibir tipisnya. Ia membeku.
“Aku tahu apa yang...”
Tiba-tiba pria itu menegang. “Sial... Aku akan bicara padamu nanti.”
Angela melihat punggung pria itu dengan bingung. “Ri...”
Sebuah panggilan menghentikan niatnya untuk meneriakkan nama pria itu.
“Angela!!” terdengar suara yang sudah ia tahu pemiliknya.
“Tobi!”
“Akhirnya aku bisa menemuimu. Dari tadi aku mencarimu ke tempat-tempat biasa. Tumben kamu berdiri di sini.”
Angela tak segera menjawab. Ia lihat dulu mata Tobi yang menatapnya dengan cinta. Ia tahu Tobi cinta padanya. Ia tahu cinta Tobi seratus persen hanya untuknya. Tapi, jika rasa cintanya untuk Tobi menghilang, apa yang bisa ia lakukan? Rasa itu menguap tanpa bekas.
“An, An... . Kamu baik-baik saja?” Tobi menunduk dan memegang bahu Angela.
“Eh... Hanya sedikit pusing,” Angela memegang kepalanya yang sebenarnya tak sakit itu. Tak ada rasa sakit yang ia rasakan, hanya kebingungan.
“Ayo ikut aku ke kantin. Kita beli es jeruk. Pasti segar,” Tobi menarik tangan Angela.
“Tapi, Tob?”
“Sudah, ikut saja.” Tobi melingkarkan lengan Angela di lengannya. Membawa Angela melangkah bersamanya.
Angela mengikuti saja langkah pacarnya itu. Selama ini Tobi sudah sangat baik padanya. Memang benar kata Nami, mereka tidak pernah bertengkar. Angela bahkan selalu di perlakukan dengan lembut oleh Tobi. Satu bulan belakangan ini, Tobi tak pernah menyakiti Angela. Tapi lagi, rasa itu sudah hilang.
“Ahh... segarr!!” seru Angela setelah meminum es jeruknya.
“Bagaimana? Merasa lebih baik?” Tobi menatap Angela dengan senyuman.
Angela mengelak dari tatapan itu. Ia mengalihkan pandangan ke tembok di belakang Tobi. “Iya,” jawabnya singkat.
“An...”
“Iya?”
“An...” panggil Tobi lagi.
Angela tak menjawab.
Jemari Tobi menyentuh helaian rambut di dahi Angela. “An, aku sangat khawatir kemarin.”
Angela memegang jari tangan Tobi, ia tersenyum. “Sudah dingin, Tob,” bisik hatinya.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Hanya... .”
“Hanya apa, An?” Tobi memainkan ujung rambut Angela.
“Tobi!” pekik Angela tiba-tiba. “Pak Fuad!”
Tobi menoleh ke belakang. Di ujung koridor, ia bisa melihat wakil kepala sekolahnya itu berjalan. Aura hitam terpancar dari tubuhnya. Seperti biasa, pria setengah abad itu akan mencari siswa-siswa yang membolos.
“Ayo ikut aku!” Tobi menarik Angela.
“Mau kemana, Tob!!”
“Ikut saja. Aku tahu tempat paling bagus untuk bersembunyi. Jangan sampai tertangkap Pak Fuad. Bisa panjang urusannya,” Tobi terus menarik Angela ke lantai dua.
“Benar. Kalau masuk kelas juga sudah tanggung. Tapi yakin aman kan?”
“Di jamin!”
“Baiklah. Aku akan memberitahunya sekarang saja,” batin Angela. Ia ikuti langkah kekasihnya itu.
Tobi menghentikan larinya di depan sebuah pintu yang terkunci.
“Kita diam di sini?” tanya Angela heran.
“Tidak, di dalamnya.” Tobi mencari-cari sesuatu di lantai.
“Tapi pintunya terkunci,”
“Tenang saja. Kami sudah tahu cara untuk membuka pintu ini,” Tobi bangkit setelah menemukan sebatang kawat tipis. Ia memasukkannya ke dalam lubang kunci.
“Kami?”
“Ya, aku, Rian dan Nami. Kalau membolos kami selalu ke sini. Semenjak kelas satu dan tidak pernah ketahuan,” jelas Tobi sambil tetap sibuk memutar-mutar batang kawat.
“Gorgeus!!!” Angela menjentikkan jarinya. “Tempat yang sempurna untuk memberitahunya,” bisik hati Angela.
“Cklek!” pintu terbuka.
Hembusan angin menerpa mereka berdua. “Selamat datang di balkon sekolah, An.”
“Langitnya bagus sekali. Aku merasa bebas,” pekik Angela lagi.
“Hmm... ya,” Tobi meraih jemari Angela dan meremasnya perlahan. Dengan lembut, Angela melepaskan jemari Tobi dari tangannya.
“Tob, ada sesuatu yang harus kukatakan...” Angela menatap mata Tobi. Tak ada lagi debaran jantungnya yang semakin cepat ketika melihat pria di depannya itu. Jantungnya sudah bisa berdetak normal ketika sedang bersama Tobi.
Sudut bibir Tobi tertarik beberapa derajat ke atas. Ia mengangguk pelan. Matanya tetap memandang Angela dengan cinta.
“Sebaiknya kita putus saja.”
“Putus?” alis Tobi bertaut. “Ke... kenapa?”
“Aku sudah tidak punya rasa untukmu, Tob. Maksudku rasa cintaku sudah tidak ada. Dan, aku tidak akan tahan membohongi perasaanku dengan terus bersamamu.”
Tobi mematung. Terdiam. Wajahnya masiv.
“Selamat tinggal, Tob,” Angela maju selangkah. Mempersempit jarak antara ia dan Tobi. Sebuah farewell hug ia berikan pada Tobi.
Mendapatkan pelukan dari wanita yang ia cintai itu, Tobi menjadi sadar dari rasa terkejutnya. “An, dengarkan aku dulu,” gumam Tobi.
“Maaf, Tobi. Tidak ada yang perlu kau jelaskan, rasa di hatiku sudah tidak ada. It’ll be useless, Tob.”
“An, tunggu. Please...”
Angela mempercepat langkahnya menuju pintu balkon. Dia tidak mau lagi memperpanjang urusan dengan Tobi.
Tapi Tobi bukanlah pria yang mudah menyerah. Begitu Angela keluar balkon, ia tinggalkan langit biru di belakangnya untuk mengejar wanitanya itu.
...
“Yan, itu... Tobi?”
“Mm...”
“Mereka putus?”
“Sepertinya begitu,”
“Yan, tolong kejar Tobi,” dengan tangannya yang basah, Nami menyentuh bahu Rian. “Beritahu dia, kita selalu ada untuk dia.... . Aku, aku mau cari cokelat buat dia.”
Rian menoleh ke arah Nami –yang selalu ingin ia bahagiakan- itu. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mandi air mata. Dielusnya rambut Nami dua kali.
“Nam, cheers up,” bisik Rian di telinga Nami, sebelum akhirnya ia mengejar Tobi.
*to be continued

Dari Tobi
“An, tunggu!”
Angela yang dipanggil terus berlari. “Tob, stop chasing me!” ucapnya, terus berlari.
“An, we need to talk.”
Tobi terus berlari mengejar Angela. Berharap wanita yang masih ia cintai itu akan berhenti berlari, atau paling tidak menoleh kepadanya. Ia berharap wanita itu mau tersenyum lagi untuknya, atau paling tidak tersenyum padanya.
Namun, kali ini harapan Tobi tidak terkabulkan.
Tobi menghentikan larinya ketika melihat Angela belok ke koridor kanan selepas anak tangga terakhir. Ia tahu, tak akan bisa mengikuti langkah Angela ke sana. Karena, daerah sebelah kanan adalah ruang ganti bagi para siswi.
Pria dengan rambut hitam eboni itu duduk di tangga. Kalau ia tak bisa mengejar Angela, maka ia bertekad untuk menunggunya.
“Tob.”
Tobi menoleh ke sumber suara di belakangnya. Di sana berdiri, sahabatnya –Rian-.
“Kamu dari... .???” Tobi terkejut.
“Ya, aku dari balkon... Are you okay?” Rian duduk di sebelah Tobi dan menepuk pundak pria yang sedang retak itu.
“Did you see me? I amn’t okay... . Bayangkan, kami tidak punya masalah dan tiba-tiba dia minta putus,” Tobi menundukkan kepalanya. Bahunya terkulai lemas.
“...” Rian hanya menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.
“Apa kau tau apa kesalahanku?” tanya Tobi frustasi.
“Kesalahanmu adalah kau terlalu mencintai Angela.”
“Hahaha... Rasa tidak akan pernah bisa disalahkan, Yan.” Tobi tertawa datar.
“Begitulah. Dan karena itu, manusia dibuat repot.”
“Oh ya, apa tadi kamu bersama Nami?”
“Ya, ya... Perempuan cengeng itu menangis melihat kamu begini. Dia menyuruhku untuk menyusulmu,” Rian berusaha untuk tetap santai ketika mengingat Nami yang ia tinggalkan tadi.
“Dia menangis?” Tobi terkejut.
“Iya. Tapi tenang saja, dia akan segera pulih. Sekarang kau pulihkan saja hatimu itu. Jangan terlalu berharap padanya,” Rian bangkit dari duduknya.
“Yan,”
“Mmm...”
“Kamu sudah memberitahu Nami?”
“Memberitahu apa?” Rian menelengkan kepalanya ke arah Tobi.
“Ya... perasaanmu padanya. Seingatku, sudah tiga bulan berlalu semenjak kamu memberitahuku kalau kamu menyukainya.”
Rian memalingkan wajahnya dari Tobi. Ia tarik nafas panjang, dan ia hembuskan perlahan. “Belum. Aku belum memberitahunya.”
“Kenapa?”
“Well, dia sudah mencintai orang lain. Bahkan sebelum aku mulai menyukai dia. Kurasa, selama ia bahagia, aku juga bahagia.”
Tobi terdiam melihat sahabatnya itu.
Ia tak pernah tahu kalau Nami menyukai orang lain. Ia juga mulai menyadari, beberapa waktu yang lalu ia tak begitu menghiraukan sahabatnya. Sampai-sampai rahasia besar Nami pun ia tak tahu.
Terdengar suara pintu yang dibuka disusul dengan suara langkah kaki dari sebelah kanannya. Tobi menegang.
“An!” serunya kemudian berjalan terburu-buru ke koridor kanan.
“Tob,” panggil Rian.
Tobi menoleh.
“Tadi Nami memintaku untuk mengatakan kalau aku dan dia selalu ada untukmu.”
Tobi tersenyum pada sahabatnya itu, sebelum berlari kembali.
Ia merasa beruntung, sangat beruntung memiliki Rian dan Nami yang tetap peduli padanya. Tapi rasa cintanya pada Angela juga sempat membuatnya beruntung. Paling tidak, ia ingin untuk tetap menyimpan dua keberuntungan itu dalam hidupnya.
“An...” panggil Tobi lagi sambil terus berlari.
...
Suara kipas angin menggaung di kamar kecil Tobi. Udara yang panas membuat Tobi tidur dengan gelisah. Suasana pengap mulai mencekik nafas Tobi yang tertidur dengan seragam sekolahnya itu. Tobi mulai merasa sesak nafas, hingga dadanya kentara naik turun. Rasa sesak itu semakin bercokol di tenggorokan Tobi, hingga....
“Hah... hah... hah...” Tobi terlonjak dari kasurnya.
Ia longgarkan dasi yang mengikat kerah bajunya. Ia buka kancing di pergelangan bajunya. Keringat yang tak kunjung pergi –walau ada kipas angin- ia seka dengan telapak tangannya.
“Trtt... Trrtt...”
Benda hitam persegi yang terletak di ujung kasur, dalam sekejap sudah menempel di telinga Tobi. “Halo,”
“Halo, Tob. Kau sedang apa?”
“Sedang mengumpulkan kesadaran. Aku baru bangun tidur,” Tobi menjawab dengan suaranya yang masih serak.
“Kau tidak ada kegiatan kan?”
“Tidak ada.”
“Bagus. Kalau begitu cepat ke rumah. Nami sudah datang, kami menunggumu.”
Panggilan lansung ditutup. Tobi menatap layar ponselnya dengan kesal. Temannya itu tak memberi kesempatan untuk menjawab permintaannya.
Benda hitam persegi itu, kembali ke tempatnya di ujung kasur. Tobi menatap langit-langit kamarnya.
Hingga dua hari yang lalu, ketika ia sudah pulang sekolah. Pesan-pesan Angela selalu menyapanya. Sekarang, semua berubah seiring hilangnya rasa Angela yang membawa Angela pergi dari dirinya.
Tobi pikir, ia tidak akan mampu menghadapi semuanya. Dan ia benar. Hanya saja, karena Nami dan Rian selalu menemaninya, ia bisa untuk tetap hidup hingga dua hari terakhir ini. Perasaannya pada Angela masih jelas tersisa. Untuk menemui Angela pun ia masih belum mau. Tapi,...
“Trrttt...”
Pesan dari Rian. “Cepetan, Tob. Jangan ngelamun. Atau keripik baladonya kita habisin !”
Tobi tersenyum.
Ia segera menyambar handuk cokelatnya dan segera ke kamar mandi. Bergegas ia menuju ke rumah Rian yang berjarak dua rumah dari rumahnya sendiri.
...
Tiga sahabat itu duduk dengan bertumpu pada lengan mereka.
“Kenyangg... .” seru Nami.
Tobi tersenyum melihat sahabat wanitanya itu. Nami adalah wanita yang terlihat lemah, tetapi sebenarnya kuat. Tobi juga tersenyum melihat Rian. Sahabatnya yang terlihat cuek tapi sebenarnya sangat perhatian.
“Mau kemana, Yan?” tanya Nami pada Rian yang sedang berjalan di kamarnyayang sudah sangat berantakan.
“Cari botol.”
“Untuk?”
Rian tidak menjawab dan  terus mencari. Tak sampai satu menit, ia kembali dengan botol plastik di tangannya.
“Ayo main Truth or Dare,” serunya tiba-tiba.
Nami dan Tobi sama-sama terkejut. “Tidak tidak tidak... Nanti aku disuruh melakukan hal-hal yang menyeramkan,” tolak Nami sambil menggelengkan kepalanya.
“Bukan itu maksudku. Dengar, menurutku terlalu banyak rahasia di antara kita. Dan, aku tidak menyukainya,” jawab Rian enteng. “Tidak akan ada hal-hal yang menyeramkan. Hanya bersifat ‘pengakuan’,” lanjut Rian lagi, menekankan nadanya pada kata pengakuan.
Tobi dan Nami saling pandang. Cukup lama, sebelum akhirnya mereka berdua menyetujui usul Rian. Mereka akui beberapa waktu ini, jiwa mereka sudah lelah mendapat masalah-masalah. Sudah saatnya untuk berbagi.
Rian memulai permainan dengan memutar botol untuk pertama kalinya.
Botol plastik itu terus berputar. Botol plastik itu masih memilih siapa yang harus memulai pengakuan ini.
Nami dan Tobi berdoa agar bukan mereka yang terpilih. Bahkan diam-diam Rian pun mendoakan hal yang sama. Mata mereka menatap botol itu dengan sepenuh hati, agar bukan mereka yang terpilih.
Perlahan, putaran botol itu melambat, melambat, semakin melambat.
Hingga akhirnya terhenti...
“Aku pilih... .”

Botol itu terus berputar, berputar, berputar...
Mulai melambat, melambat, semakin melambat.
Hingga akhirnya terhenti.
Botol itu memilih...
Nami.

Dari Nami.
“Aku pilih...” nada suara Nami menggantung. Ia masih bingung mengenai apa yang akan dipilihnya. Sedikit, rasa menyesal muncul karena ia menyetujui permainan ini. Ia pandang Tobi, sahabatnya itu memberikan senyuman sendu. Ya, ia tahu dan sangat tahu kalau Tobi masih sakit hati. Sementara Rian, memberikan tatapan –akui saja- kepadanya.
“Jujur.”
Rian tersenyum lebih lebar.
Nami menarik nafas panjang. “Sepertinya ini saat yang tepat untuk jujur.” Ia mulai bercerita.
Desahan nafas Nami menandakan ia sedang gelisah. Matanya menatap sisa bungkus kripik dan kacang di karpet hijau muda miliki Rian. “Tobi...” ia panggil pria yang sudah ia cintai itu. “Aku tidak minta balasan atas apa yang aku katakan.”
Mendengar namanya disebut, Tobi memandang Nami. Kali ini, wajahnya mengguratkan kekhawatiran.
“Aku benci kamu, Tobi.” Kepala Nami semakin tertunduk ke dalam.
Alis Tobi terangkat. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Tapi, tersekat begitu ia mendengar Nami berbicara.
“Kamu itu lamban. Selalu jadi yang paling lamban. Perasaanmu juga tidak peka, Tob. Kamu selalu lamban untuk mengartikan keadaan,” suara Nami mulai terdengar serak. Beberapa kali ia menyeka pipinya.
“Aku benci kamu. Tapi aku lebih benci diriku yang tidak bisa pergi darimu. Walaupun kau manusia paling lamban sekalipun, aku tidak akan bisa benci kamu, Tob. Karena aku... aku... aku cinta kamu, Tob. Aku mencintai Tobi.” Tetesan air jatuh dari jemari Nami. Rian segera memberikan gadis itu kotak tisu.
Di hadapan Nami, Tobi memandangnya dengan rasa tak percaya. Ia benar-benar tak menyangka Nami mencintainya, lalu bagaimana dengan Rian? Ia menoleh ke sebelah kanan. Dan yang ia lihat adalah Rian yang tersenyum tulus pada dirinya.
“Sewaktu Angela datang, hatiku sakit dan membuatku semakin membencimu. Tapi yang lebih kubenci adalah diriku sendiri. Aku tak bisa menahan perasaanku sendiri, bahkan ketika kamu sudah bersama Angela...” Nami mengakhiri pengakuannya.
Tak ada orang yang bergerak.
“Nam, maafkan aku.”
Tobi mendekati Nami. Awalnya ia ragu, tapi melihatnya mendekat, Nami lansung memeluknya. Tangisan Nami semakin menjadi-jadi. Air matanya membuat kaos Tobi menjadi basah. “Nam, maafkan aku.” Kata Tobi sambil menepuk-nepuk pelan rambut Nami. Nami mengangguk perlahan di pelukan Tobi. “It’s okay, Tob. Aku tidak butuh balasan. Cukup kamu tahu saja,” gumam Nami.
Rian tersenyum melihat Nami dan Tobi. Sejak awal dia sudah memutuskan, kebahagiaan dia tergantung dari kebahagiaan Nami.
Nami memutar botol itu. Dan...
Dari Tobi
“Aku pilih berani,”ucap Tobi.
Mendengar itu, Nami melihat Rian. “Yan?”
“Baiklah. Tob, tantangan yang aku berikan untukmu... . Lupakan Angela,” ujar Rian.
Dua kali.
Sudah dua kali sahabat-sahabatnya itu memberinya kejutan hari ini.
“Apa maksudmu?”
“Aku mau kamu tidak terlalu berharap lagi padanya, Tob. Itu hanya akan membuatmu sakit hati. Kami juga sakit hati melihatmu seperti ini terus. Kalau kamu coba untuk berhenti mencintai dia, Nami dan aku akan bahagia. Begitu juga denganmu, kamu tak perlu merasa terikat dengannya,” papar Rian. Dari nada bicaranya, rasa tulus sebagai seorang sahabat begitu jelas mengalir di setiap kalimat yang ia ucapkan.
Tobi diam.
Melupakan Angela? Mampukah ia?
“Tob, kalau kita lewati bersama, kita pasti bisa. Kamu akan bisa melupakannya dengan cepat. Jangan berpikir untuk berusaha sendiri. Kami di sini ada untukmu, Tob.” Nami menyentuhkan tangannya ke bahu Tobi. “Kami sedih melihatmu sedih, Tob. Jadi, berjuanglah.”
Bayangan Angela, Tobi dan Nami mengisi retinanya secara bergantian. Semakin lama, semakin cepat. Ia juga merasa kepalanya hangat. Apa yang sedang dipikirkan otaknya membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Ketika ia sahabat-sahabatnya itu sangat tulus,  Tobi menganggukkan dagunya dua kali. Rasa dari sahabatnya tak mungkin hilang bukan?
“Baiklah, aku akan berusaha,” kata Tobi sambil tersenyum. Nami dan Rian menghembuskan rasa lega dari nafas mereka.
...
Dari Rian
“Sekarang giliranku,” ujar Rian gently.
“Aku suka pada seseorang. Sama seperti apa yang kau rasakan, Nam. Meskipun aku tau gadis itu punya banyak kekurangan, aku tetap mencintainya,” kisahnya sambil memandang langit-langit.
“Walaupun dia menyukai orang lain, aku merasa perasaanku tetap terikat padanya. Aku senang ketika dia senang, aku tersenyum ketika dia tersenyum, aku bahkan merasa bahagia mendengar ia bercerita dengan riang tentang orang yang ia cintai. Tidak hanya itu, rasa sedih datang ketika aku melihatnya sedih. Tapi, entahlah... Aku selalu menguat-nguatkan diriku untuk selalu terlihat tegar di hadapannya. Aku mencoba untuk tetap memberinya semangat,... . “
Tobi menatap Rian dengan heran. Ia merasa iri kepada Rian yang bisa menahan perasaannya selama ini.
“Walaupun aku merasakan miris hatinya ketika ia meletakkan cokelat putih di lokernya, aku berusaha untuk tetap tersenyum untuknya. Karena aku tahu, dia sudah dengan memilih cokelat itu dengan sepenuh hatinya.”
Mata Nami membulat. Ia mulai menebak-nebak siapa gadis yang dimaksud oleh Rian.
“Ketika dia sedih, aku menyadari dia akan bercerita padaku. Karena itu aku memutuskan untuk terus menjadi pendengar setianya, selama itu bisa mengurangi dukanya. Karena, aku tersenyum ketika ia tersenyum.” Rian mengakhiri ceritanya dengan menatap Nami yang masih terkejut.
“Rian!” Nami menghambur ke ke pria itu untuk memeluknya. Ia menangis lagi, kali ini membasahi kaos yang berbeda.
Rian tersenyum dan membalas pelukan Nami. “Aku cinta kamu, Nam.”
Rian melirik Tobi yang termangu di tempat duduknya. “Ayo, Tob. Beri aku pelukan juga.”
Tobi mendekati Rian. Tapi alih-alih memberikan pelukan, ia malah menjitak kepala sahabatnya itu.
“Kita telah diuji cinta...” kata Tobi sambil berdiri.
“Aku rasa kita berhasil melewatinya,” timpal Rian.
Nami melepaskan pelukannya dari Rian. “Kita akan terus bersahabat bukan?”
Tobi dan Rian tertawa, “Tentu saja, cengeng!”
... .
Beberapa belas bulan kemudian... .
Rian sedang termangu, melihat barang-barang yang sudah dibungkus rapi di kamarnya. Sebentar lagi ia akan pergi.
“Rian!!!” pekik Nami yang tiba-tiba sudah duduk di tepi kasur bersamanya.
“Hei! Pelan-pelan kalau teriak!”
“Bagaimana bisa teriak pelan-pelan?” sungut Nami.
“Akhirnya pergi juga ya kamu, Yan? Aku sudah bosan lihat wajahmu,” kata Tobi sambil terkekeh.
“Sialan!” Rian meninju pelan bahu kawannya itu. “Sebentar lagi aku akan pergi, kamu mengatakan hal yang seperti itu.”
“Sudahlah, hentikan,” lerai Nami. Gadis itu memberi Rian sebuah foto yang telah berbingkai. “Ini, untuk calon arsitek.”
Rian menatap foto itu sambil tersenyum. Foto masa kecil mereka.
“Jangan lupakan kami,” kata Tobi.
“Kalau kamu sampai lupa kami, aku dan Tobi akan datang mencarimu sampai Universitas Nasional Seoul untuk membawamu pulang ke Indonesia. Untuk apa dapat beasiswa jauh-jauh ke luar negeri kalau ujung-ujungnya lupa sahabat sendiri,” oceh Nami.
“Oh ya, kalau kamu pulang nanti bawakan aku oleh-oleh,” celetuk Tobi lagi.
“Aku juga!! Bawakan aku Dong Hae, Kyu Hyun, Siwon, Jang Geun Suk,...”
“Tob, apa kau punya obat bius? Sepertinya dia mulai tidak waras,” potong Rian seraya menoleh ke Tobi.
Tobi dan Rian tertawa bersama. Meskipun memasang wajah cemberut, dalam hati Nami bahagia bisa bercanda bersama sahabat-sahabatnya itu. Meskipun Tobi akan pergi jauh, ia yakin mereka akan tetap bisa bersahabat. Dan demikian pula yang diyakini Tobi dan Rian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...