Langsung ke konten utama

SELAYAKNYA ULAT YANG MENJADI KUPU-KUPU


Tahunan yang lalu ... Saat aku masih rok merah mengembang-ngembang di kaki kecilku. Menunjukkan celana selutut yang kukenakan, cukup untuk membuat guruku marah karena katanya aku tidak rapi.
Tahunan yang lalu... Saat rambutku masih 'semi cepak', membuat guruku mengeluhkan perawakanku yang lebih mirip siswa-siswanya.

Tahunan yang lalu... Saat aku masih merajut kisah di kelas 4 SD. Masih ingat betul aku. Saat Ibu Guru menugaskan kami untuk menulis tentang liburan kami dan membacakannya di kelas. Dan masih ingat betul aku ketika aku berdiri di depan kelas, dengan kaki-kaki kecil nan ringkih. Membaca dengan suara yang tak kalah ringkih. Berlembar-lembar kisah tentang perjalananku ke pulau Sumbawa di NTB sana.

"Cerita itu kamu tulis sendiri?" tanya guruku saat aku selesai membaca.
Aku mengangguk. Tak paham...
"Beneran kamu tulis sendiri?"
"Iya, Bu," jawabku sambil mengangguk, berusaha untuk tampak lebih meyakinkan. 

Ibu Guruku selanjutnya memintaku duduk. Masih dengan wajah tidak percayanya. Ia membolak-balik ceritaku dan membacanya ulang. Memangnya ada apa dengan ceritaku?
 
Menurutku saat itu, ceritaku tidaklah berbeda dengan teman-teman yang lain. Menceritakan pengalaman liburan. Mulai dari persiapan berangkat hingga ketika sampai di rumah lagi. Saat itu, aku masih berpikir mengapa Bu Guru tak percaya padaku.

Setelah bertanya pada orangtuaku, barulah aku mengerti. Bu Guru bersikap seperti itu karena menganggap ceritaku bagus. Tak selayaknya cerita anak kelas 4 SD. Katanya ceritaku runtut, detail, karakter tokoh sudah terasa dan pembangunan suasana dengan kata-kata yang jarang digunakan. Demikian jawab orangtuaku karena ternyata Bu Guru memberitahu mereka tentang ceritaku...

Sejak saat itu, aku menemukan sedikit kelebihanku di bidang menulis.
.............

Saat itu tentu saja aku tak tahu bagaimana karya JK. Rowling maupun Terry Brooks saat mereka masih duduk di sekolah dasar. Aku juga tentu saja saat itu tak tahu apa indikator dari sebuah tulisan yang bagus. Yang aku tahu, aku terus menulis. Paling senang setiap guru memberikan tugas mengarang. Bahkan saat SD aku juga memperluas tulisanku ke bidang puisi dan menghasilkan 3 buku tulis panjang penuh puisi, yang isinya selalu membuatku tersenyum

Beginikah guratan tanganku dulu?

Pun saat SMP, aku juga terus menulis. Bagiku menulis adalah hal yang paling kusukai. Bahkan aku menulis fan fiction tentang band idolaku yang panjangnya hampir tiga buku tulis. Kegiatan menulisku juga sudah mulai merambat ke arah perlombaan-perlombaan menulis. Yahh~~ walau saat itu hanya tingkat sekolahan. Satu binder sudah over dosis dan penuh oleh puisi-puisiku.

Begitu SMA, aku semakin sering menulis. File tulisanku sudah hampir mencapai gigaan. Tulisanku mulai bergerak ke perlombaan-perlombaan kabupaten, provinsi hingga akhirnya nasional. Beberapa kali dicetak dan diterbitkan. Dan aku terus menulis.
............

Bertahun-tahun sudah aku melabuhkan hati di kertas maupun layar laptop. Menulis dan menulis. Sadar bahwa masih ada yang kurang dan berusaha memperbaiki.
...........

Entahlah...
Entahlah aku ulat atau telah menjadi kupu-kupu. Atau mungkin aku masih dalam pupa kepompong? Entahlah... Yang aku tahu, sembilan tahun adalah waktu yang tak singkat untuk membuatku mencintai bidang ini, namun tak pernah cukup panjang untuk membuatku menguasainya.

Dan yang pasti...
Aku akan terus menulis... .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...