Langsung ke konten utama

MONTASE

Penulis                 : Windry Ramadhina
Penerbit              : GagasMedia
Jumlah hal.         : viii + 360 hlm
Tahun terbit      : 2012
Stars                      : 4/5

Aku berharap tak pernah bertemu dengamu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.

Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku,

Tapi...

Kalau aku benar-benar tak pernah bertemu dengamu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
Dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.


Seperti ringkasan ceritanya, mungkin anda tak berharap membaca novel yang meninggalkan kesan biru muda di hati. Namun, jika anda tak membaca novel ini, anda akan melewatkan bagaiman rasanya emosi anda naik turun karena keepikan kisah ini.
Windry Ramadhina mampu mengeksplorasi kisahnya dengan sangat indah. Kalimat-kalimatnya terbangun dari diksi-diksi indah namun tak berlebihan. Penulis mampu membangun emosi pembaca dengan hal-hal kecil yang seringkali terjadi, namun tak pernah begitu diperhatikan.


Montase.

Dengan cover klasik yang begitu menggoda. Mengisahkan guratan cinta di antara Rayyi dan Haru. Rayyi adalah mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta –peminatan Produksi-. Begitu pula dengan Haru –peminatan dokumenter-, hanya saja ia adalah mahasiswi dari Jepang yang menjadi peserta studi banding di kampus itu.

Kisah yang terjadi didasari alur klasik –benci jadi cinta-, dengan balutan dunia perfilman. Dua muda-mudi ini sama-sama pejuang seni yang berjuang dengan idealisme masing-masing, namun di bawah payungan film dokumenter. Terpaksa bekerja sama karena tugas kelompok matkul umum, menjadi awal bagi mereka untuk saling memahami idealisme masing-masing.

Mirip dengan Perahu Kertasnya Dee, Rayyi dan Haru adalah jelmaan dari orang-orang yang harus bersusah payah membagi antara realita dengan impian mereka. Ya, terbentu dengan keinginan sang Ayah, Rayyi dipaksa melepas impiannya untuk bisa menjadi penerus Dziga Vertov. Sejalan dengan Haru yang memilih mendalami film dokumenter karena cintanya pada kedua orangtuanya. Dan novel itu, mengisahkan bagaimana mereka saling menguatkan diri untuk menghadapi realita.

Secara keseluruhan, novel ini tidak hanya bercerita tentang roman picisan dua tokoh remaja itu. Apa yang tertera di dalamnya lebih dari itu. Banyak sekali kalimat-kalimat penyentuh perasaan yang mampu membuat mata terbuka lebih lebar untuk menghadapi realita dunia. Ya, realita dunia. Terutama bagi orang-orang yang merasa impiannya terbentur dengan kenyataan, ada banyak kata-kata penggugah semangat yang ditulis Whina Ramadhany di novel ini. Semacam : “kita tidak hidup selamanya Rayyi. Karena itu jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan. – Haru.”

Kenapa 4 dari 5 bintang? Sebab masih ada sesuatu yang seharusnya bisa membuat novel ini mampu menyentuh perasaan pembaca hingga titik yang paling dalam, namun penulis tidak menggunakan ‘sesuatu’ tersebut. Serta penggunaan font untuk penulisan judul setiap bab agar rumit untuk dibaca. Sehingga sempat menyebabkan kebingungan di awal. Hei, bukankah judul adalah pengantar yang baik bagi pembaca?


Namun, terlepas dari itu semua, tidak ada salahnya anda membeli novel ini. Dan membacanya di sela-sela kesibukan. Cerita yang disuguhkan akan membuat mampu membuat anda merenung sejenak dan mulai menatap hal-hal kecil di sekitar anda dan menyadari hidup sesungguhnya lebih indah dari yang pernah anda sadari sebelumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...