Langsung ke konten utama

The Power of Deadline



Tulisan ceracau ini berawal dari insomniaku yang semakin akut dari hari ke hari. Bertambah parah setiap kali aku mengingat kalau dua belas hari lagi aku akan meninggalkan ruang merah muda ini, demi menyandang gelar S.ST di ibukota sana. Kepalaku terus menerus memberikan peringatan agar aku menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan ruangan selama sepuluh tahun terakhir ini, memintaku untuk menghirup setiap partikel udara hangat di ruang ini, memintaku untuk memandang kembali coretan-coretan dan cat yang terkelupas akibat tempelan poster. Dan bagaimana bisa mataku terpejam saat aku tengah menjalankan perintah aneh dari kepalaku itu?

Jadilah aku terbangun, menelusuri satu persatu buku-buku yang berdiri tegak di rak. Hingga akhirnya mataku menumbuk sebuah buku antologi cerpen Bicaralah Cintaku. Otomatis, pikiranku lansung tertuju pada sebuah halaman. 107. Dan kutemukanlah judul sebuah cerpen di sana, Melodi untuk Nada.

Melodi untuk Nada, cerpen bertemakan cinta, disabilitas dan keluarga ini adalah cerpen pertamaku yang menembus media nasional. Cerpen yang hingga saat ini selalu membuatku tersenyum saat membacanya, karena mengingat proses pembuatannya yang begitu singkat. Berbeda dengan naskah-naskah lainnya yang tertahan di laptop, menghabiskan waktu yang panjang namun tak mampu kemana-mana.



Cerpen itu aku lahirkan saat mendapatkan pelatihan dari bunda Lintang Sugianto, seorang penulis ternama Indonesia dengan novel best sellernya yang memang luar biasa indah. Pelatihan itu dilansungkan selama tiga hari,satu jam lima belas menit seusai jam sekolah dan berakhir jam enam petang. Hari pertama dilewati dengan pemberian teori-teori beliau yang menakjubkan, hari kedua pun begitu namun sebelum pertemuan berakhir kami diminta untuk membuat sebuah kerangka cerpen, dan hari terakhir kerangka cerpen itu harus sudah menjadi cerpen-cerpen yang akan dipilih berdasarkan 'kemenarikan judul' untuk dievaluasi. Karena kerangka cerpenku yang berjudul 'Melodi untuk Nada' sudah di ACC oleh bunda, di rumah aku hanya perlu untuk mengubahnya menjadi cerpen seutuhnya. Namun, karena tenaga yang sudah terkuras habis, alih-alih menyelesaikan, aku hanya bisa memikirkan paragraf pembukanya. Terjaga sepanjang siang adalah hal utama yang bisa menguras tenaga manusia setengah vampir seperti aku ini. Alhasil, aku tertidur dan berniat untuk bangun di sepertiga malam untuk menyelesaikan cerpen itu sekaligus bertahajud.

Dan ternyata, aku terlambat bangun! 

Bahkan sedikit lagi terlambat untuk bersekolah. Seraya menyesali diri, aku berangkat ke sekolah sambil berharap agar ada jam kosong. Sehingga aku bisa menyelesaikan cerpenku. 

Dan ternyata lagi, Tuhan belum mengabulkan doaku. Kelasku padat! Tak ada lowongan waktu untuk menggarap cerpen itu. Oh~~ oh~~ saat itu aku sempat merasa putus asa. Karena aku tak mau membuat Bunda yang sudah membimbingku itu kecewa.

Akhirnya, aku memanfaatkan waktu 75 menit seusai pulang sekolah itu dengan seksama. Perjalanan pulang yang biasanya lima belas menit, menjadi 9 menit! Ah, kalian pasti pernah merasakan bagaimana saat setiap detik begitu berharga. Melaju dengan kisaran 60 sd 80 km/jam rasanya mengerikan untuk aku yang baru saja bisa mengendarai motor matic ini. 

Begitu sampai di rumah, setelah sholat, aku segera menyalakan laptop, membuka ms.word dan mengerjakan naskahku. Apa yang ada di pikiranku, aku tuangkan di baris-baris kalimat. Tak lagi terlalu memikirkan diksi. Aku terus saja mengetik, mengetik, mengetik... Membiarkan nama Agus dan Melodi muncul berulang kali di lembar demi lembar. Membangun puncak konflik. Melukiskan pertemuan dua sejoli itu. Terus mengetik. Mengetik. Tak ada waktu untuk melemaskan jari... Hingga...

Done!
Cerpen kisaran 6 halaman itu selesai dalam kurun waktu satu jam. 

Ah, benar benar luar biasa kekuatan kepepet ku kala itu. Akhirnya aku bisa kembali ke workshop itu seraya membawa cerpen yang sudah jadi itu.
Dan kekuatan deadline itu tak terhenti sampai di situ saja, ketika workshop, cerpenku menjadi salah satu naskah dengan judul paling menarik hingga akhirnya membuat cerita itu dimuat di halaman 107 buku 'Bicaralah Cintaku'.
Rasanya luar biasa...

Entah bagaimana caranya tubuhku mengubah 'pressure' menjadi sebuah kekuatan untuk mengerjakan sesuatu dengan maksimal. Dan tidak hanya satu kali itu, berulang kali pekerjaanku yang dikejar-kejar deadline menjadi sesuatu yang lebih daripada hasil pekerjaan-pekerjaanku yang lainnya. Mungkin ini memang sifat manusia, mulai bekerja jika ada tekanan. Mulai berpikir jika tanggung jawab itu sudah mulai membelit. Dan mulai menjadi maksimal ketika waktu menjadi batas terjelas di pekerjaan itu.

Ah~~ entahlah, itu hanya persepsiku saja. 

Kulirik jendela Ms. word di laptop, aku belum menyelesaikan opini untuk makalah Magradika 55. Haruskah aku kembali menunggu kedatangan deadline untuk bisa menyelesaikannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...