Mungkin setahun yang lalu, saat
aku duduk di bangku nomor dua dari depan. Dengan khidmat melipat tangan di atas
buku bahasa Indonesia, guruku bertanya. “Anak-anak, kalian memilih untuk
mencintai atau dicintai?” tanyanya. Suaranya yang halus mengisi kubikel-kubikel
udara di kelas kami.
Puluhan temanku yang lain riuh
rendah menyatakan pendapatnya. Sementara aku masih menimang-nimang dua pilihan
itu. Memikirkan baik dan buruknya. Tak kunjung menentukan pilihan hingga
beberapa temanku mengutarakan alasan akan pilihan mereka. Sebagian besar dari
mereka memilih untuk dicintai.
“Bu, saya memilih untuk
mencintai,” selaku. Setengah memaksa guruku untuk memberikan kesempatan
berbicara padaku.
Sesungguhnya, kala itu akupun tak
benar-benar paham mengapa aku memilih untuk mencintai ketimbang dicintai.
Mungkin karena aku masih dalam masa pubertas atau entahlah... Dan jadilah aku
mengutarakan alasan dengan terbata-bata, tergagap-gagap, alasan yang keluarpun
tak jelas, berputar-putar. Dan aku masih ingat kalau aku mengatasnamakan hukum
ketiga Newton sebagai landasan pilihanku. Kataku kala itu, aku penganut hukum
aksi reaksi dan berpikir untuk mencintai orang lain terlebih dahulu sebelum
dicintai orang itu. Aneh bukan? Sungguh alasan yang mudah untuk dipatahkan.
Dan di akhir sesi, dengan
kesahajaannya, Ibu Guru mengajarkan seisi kelas bahwa dicintai lebih baik dari
mencintai. Berhasil membuat diri sendiri dicintai adalah hal yang luar biasa. Dicintai
orang lain mengindikasikan bahwa diri ini memiliki sesuatu yang setidaknya dikagumi
orang lain. Dan tentu saja, memiliki pengagum bukanlah perkara mudah. Ah, kau
pasti tahu maksudku. Aku tidak begitu bisa menjabarkan penjelasan Ibu guruku
dengan gamblang, karena pada saat itu hatiku masih berkeras untuk memilih
mencintai daripada dicintai. Pun tanpa alasan yang jelas.
Dan saat ini, aku masih berpegang
teguh pada prinsip kalau aku lebih memilih mencintai daripada dicintai. Hanya
saat ini, aku mulai mendapat alasan yang lebih kuat akan pilihanku itu. Dua
bulan di ibukota membuatku semakin yakin bahwa aku akan tetap memprioritaskan
mencintai daripada dicintai. Bukannya aku hendak menyangkal kesahajaan Ibu
Guruku dalam setiap kata yang beliau ucapkan. Hanya saja aku ingin mengutarakan
pendapatku lagi, untuk yang kedua kalinya. Walaupun tidak di ruang kubik berisi
puluhan orang lagi.
Bagiku pribadi –yang mungkin akan
bertentangan dengan pendapatmu-, mencintai adalah hal yang akan memberikan efek
langsung kepadaku. Sementara, dicintai adalah hal yang akan memberikan efek langsung
kepada orang lain. Teori siapa itu? Ehm... Itu hanya teori-teori kecilku.
Teruslah membaca dan yakinlah bahwa kalimat-kalimat selanjutnya adalah hasil
dari pertentangan-pertentangan yang muncul begitu saja di kepalaku.
Dicintai merupakan sikap orang
lain terhadap diri sendiri. Sementara menurutku, tidaklah begitu penting bagaimana
orang memperlakukan diriku atau berpikir tentangku selama aku tetap melakukan
hal-hal yang kuanggap baik. Karena itu, daripada memikirkan bagaimana caranya
untuk dicintai orang lain, lebih baik aku mencari orang lain yang bisa
kucintai.
Mencintai orang lain biasanya
membuatku untuk mencaritahu seluk beluk orang itu. Mencari tahu bagaimana
caranya agar aku bisa menjadi seperti orang yang aku cinta. Yaa, mungkin mirip
seperti orang yang mengidolakan sesuatu. Tapi, bukankah itu yang bisa cinta
lakukan?
Jadi, sekali lagi menurutku, aku
lebih memilih untuk mencari orang yang patut untuk kucintai sehingga akupun
bisa menjadikannya sebagai penambah motivasi hidup. Adapun menjadi dicintai
orang banyak? Aku tidak begitu memikirkannya karena sekali lagi aku tidak akan
ambil pusing atas apa yang orang lain pikirkan tentangku selama aku tahu kalau
diriku tidak melakukan perbuatan yang menyimpang.
Oh ya, satu lagi. Aku bukanlah
tipe yang senang dijadikan objek. Aku lebih suka menjadi subjek dalam melakukan
apapun.
Lalu bagaimana denganmu? Tipe
seperti apa dirimu?
Mencintai?
Dicintai?
Komentar
Posting Komentar