Langsung ke konten utama

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya.

"Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya.

Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu."

Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu."

Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan.

Ah, Wind Up Bird Chronicles. Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana si kucing bisa hilang dan bagaimana Noboru Wataya sesungguhnya mengambil peran penting disana. Novel itu menurutku begitu liar. Saking liarnya hingga ia bisa membawa imajinasi pembaca kesana kemari. Dan pembaca beriman kuatlah yang bisa menamatkan buku itu. Dan aku tampaknya belum termasuk ke golongan itu.

"Ah! Mas, aku tahu jawabannya!"

"Hmm ya.. Coba jelaskan

Aku merapatkan kardiganku. Sepertinya besok aku harus turun gunung untuk membeli jaket baru. Bertahun-tahun tinggal di bawah langit ibukota, aku tak punya lagi stok jaket yang layak untuk daerah sedingin Batu.

"Manusia itu kompleks. Tidak ada yang sepenuhnya bisa mengerti bagaimana perasaan manusia, selain Penciptanya. Hati manusia itu seperti sumur tanpa dasar atau bahkan ia hanya dataran biasa, bukan sumur. Jadi, jangan memaksa diri untuk memahami kehendak semua manusia. Lakukan saja yang menurut Mas benar. Begitu, menurutku." Gara-gara melihat novel itu, pikiranku jadi penuh dengan sumur.

"Lalu yang menurutmu benar, yang mana?" tanyanya lagi.

Aku tertawa. "Ngawur. Kok masalah hidup begitu diserahkan ke orang yang baru diajak ngobrol kurang dari sejam."

Dia juga ikut tertawa. "Lebih baik daripada aku serahkan ke orang yang ngawur."

Kami tertawa bersama-sama. Dari arah belakang, terdengar segerombolan orang yang baru datang. Aku beringsut dari bangku. Memegang erat ujung kardiganku. "Sudah ya, Mas. Aku bantu Mbok dulu."

Ia tertawa kecil. "Iya, Mbokmu jangan sering-sering ditinggal ya, kasihan." Lalu ia menyalakan senternya. Kembali menekuni Wind Up Bird Chronicle , beberapa saat kemudian, kulihat ia sudah berpindah halaman.

Ah, ia orang yang tegar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FALL IN LOVE WITH A BAD BOY

AKUMA DE KOI SHIYOU / FALL IN LOVE WITH BAD BOY @2012 Anashin Gramedia/2013 Rp 18.500 4/5 stars DI judulnya ada embel-embel 'Bad Boy'. Tapi karakter pria yang muncul di covernya tidak berantakan. cuma berdiri dengan posisi cool  dengan kemeja yang setengah terbuka. *nosebleed* Jadilah, komik ini terbawa ke meja kasir. rasa penasaran menggelitik hati, di bagian mana pria itu menjadi bad boy? sebab tampilannya di cover tidak sepenuhnya menunjukkan ke bad boy annya. ringkasan di bagian belakang cover tidak begitu menjual sebenarnya, terlalu umum untuk komik-komik remaja bergenre romance. begini ringkasannya: cowok yang ditaksir Narumi adalah cowok populer di sekolah. Tapi ternyata cowok itu menyimpan sebuah rahasia! Melihat kakaknya yang playboy, Narumi yang masih SMA diliputi kebimbangan soal cinta. Tapikemudian ia jatuh cinta pada Sena-kun, teman sekolahnya yang juga seorang model terkenal. Saat pulang sekolah, tanpa sengaja Narumi mengetahui 'keburukan' S

Kenapa Menikah Muda

Dingin. Gerimis. Gelap. Jalanan yang berlubang. Perut yang kelaparan. Pintu kulkas terbuka seperti pintu masuk minimarket di malam minggu. Sebentar-sebentar lampunya menyala sebelum mati untuk sebentar saja. Benda kotak setinggi satu meter itu jadi kotak pendingin tak berguna. Selain karena listrik yang padam semenjak tiga jam yang lalu, juga karena ia hanya berisi sirup markisa dan terasi udang merk tiga abjad. Ah, oh ada juga bumbu nasi goreng. Aku menggeliat-geliat di kasur, di bawah selimut merah muda. Mengeluh, merutuk kebodohan sendiri karena selalu lupa beli makan malam sepulang dari kantor. Kan kalau sudah malam gelap gulita begini, aku hanya jadi perempuan pengecut dengan segala kenegatifan di pikirannya. Terlampau takut dan malas untuk keluar mencari makan. Lebih memilih untuk menikmati lapar daripada menyalakan motor dan mencari warung yang buka. Bekerja jauh dari pusat kota memang memaksaku untuk hidup disiplin. Warung-warung makan yang tak pernah buka lebih dari j