Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas.
Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya, bukan pantai buatan yang ada di taman wisata Ancol. Itulah yang membuatnya tak perlu berpikir panjang untuk membeli tiket penerbangan ke Lombok.Namun di Lombok, ia malah menemukan hal lain yang lebih indah. Sebuah ciptaan Tuhan yang membuatnya merasa berat untuk meninggalkan pulau itu. Sebuah ciptaan Tuhan yang sudah membuat hatinya menyatu dengan pulau itu dan tak ingin dipisahkan. Hannah, itu namanya. Nama yang terdengar manis di telinga Putera. Waktu seminggu di pulau Lombok malah ia habiskan untuk memperhatikan gadis itu dan membuatnya lupa pada tujuan awalnya bertandang ke pulau Lombok.
Pesawat yang ditumpangi Putera mendarat dengan mulus. Jam di tangannya menunjukkan pukul 08.30. Kesibukan di Bandara Soekarno-Hatta sudah terlihat. Sebagian besar orang berlalu lalang dengan wajah yang mengantuk. Putera juga merasa mengantuk. Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman di bench, dengan malas-malasan ia memainkan jemarinya di atas blackberrynya. Meminta Radit, partner lukisnya untuk membawanya kembali ke galeri lukis mereka.
“Dit, aku putus sama Mia,” ungkap Putera pada Radit ketika mobil Toyota yang mereka tumpangi mulai membelah jalan Jakarta.
“Yang bener?” Radit merasa ada rasa lega yang menyeruak ke permukaan hatinya. Satu nyawa terselamatkan, pikirnya.
“Dan aku rasa, aku sudah jatuh cinta,” kata Putera lagi seraya memainkan tuas di kamera analognya. Melihat benda-benda yang berhasil ia abadikan sewaktu ia ada di Lombok.
“Ckitt...” Radit kehilangan konsentrasi. Hampir saja ia menabrak bemper mobil yang ada di depannya. “Serius?”
“Iya. Namanya Hannah. See?” Putera memiringkan layar kameranya ke arah Radit. Radit melihat sekilas kemudian menekan pedal gas perlahan. “Dia sangat cantik, Dit. Dia gadis asli Lombok. Setelah pameran selesai, aku akan kembali ke Lombok dan membawanya ke Jakarta. Aku benar-benar mencintainya,” Putera berbicara dengan antusias sambil melihat foto-foto Hannah di kameranya.
Sementara, Radit yang ada di sampingnya mendegut ludahnya dua kali. Dalam sekilas pandangan, Radit juga bisa mengetahui kalau gadis itu cantik. Matanya yang bulat dan lebar sangat kontras dengan rambutnya yang terurai. Tapi, kalau Putera sudah mengatakan cinta, semuanya akan berubah. Kejadian itu akan terulang lagi dan Radit hanya bisa membiarkan hal itu terjadi. Pada awalnya, ia bersikap tak peduli karena tak ingin terlibat. Namun, semakin lama, ia merasa bahwa ia sudah mulai berubah menjadi orang yang jahat. Untuk yang kesekian kalinya, Radit diharuskan untuk memilih. Radit benci memilih.
Setiba di galeri lukis mereka, Putera lansung masuk ke ruangannya. Ruang yang dimaksud adalah ruang berukuran 5 x 8 meter yang terletak di lantai dua. Temboknya berwarna putih, dan ada satu kasur kecil berwarna putih juga yang terletak di sudut ruangan, tepat di sebelah pintu menuju balkon. Biasanya, Putera akan melukis di balkon pada malam hari. Cahaya bintang yang lembut membantunya untuk mengungkapkan ekspresinya melalui gores-gores cat minyak di kanvas putihnya. Sementara itu, meja kecil di balkon adalah tempatnya meletakkan air putih. Hanya air putih, tak pernah digantikan oleh minuman lainnya.
Putera melemparkan ranselnya ke kasur dan merebahkan dirinya di sebelah ransel. Matanya mengitari ruangan putih itu. Ada 23 lukisan di ruangan itu. Saling bertumpuk satu sama lain di setiap sisi tembok. Lukisan-lukisan itu adalah lukisan istimewa baginya. Hanya ia dan Radit yang pernah melihat lukisan-lukisan tersebut. Putera tak mau mengikutsertakan 23 karyanya itu dalam pameran apapun. Semua itu terlalu indah untuk dibagi ke khalayak ramai, demikian pikirnya. Dan sebentar lagi lukisan itu akan bertambah satu menjadi dua puluh empat.
(to be continued)
Baca juga :
24 Lukisan Cinta : Hannah *2
24 Lukisan Cinta : Hannah *3
24 Lukisan Cinta Hannah *4 (end)
Komentar
Posting Komentar