Langsung ke konten utama

Hari Ini Seperti Inilah

Dinginnya terkutuk
Menusuk-nusuk sampai tulang rusuk
Dan aku merutuk, terus merutuk
Di tengah Indonesia yang terus terbatuk
Terkekang korupsi, penjarahan, prostitusi dan berbagai sifat-sifat buruk

Ahh... Dinginnya benar-benar
Kali ini takkan lekang oleh pidato pejabat yang berkoar-koar
Ingin rasanya kubungkus diri dengan bendera lebar

Dingin, dingin, dingin
Politik Indonesia juga dingin
Rasa iba remaja juga mulai mendingin
18 nilai karakter bangsa beranjak runtuh dan luruh, lebih parah dari kemarin

Hari ini seperti inilah
Satu hari lagi Indonesia menghadapi banyak masalah
Udara dingin di negeri ini membekukan darah
Semoga pemuda-pemuda itu belum lelah

Hari ini seperti inilah,
Dinginnya sudah membuat aku lelah
Negeri ini, kehilangan matahari merah
Masalah bertambah parah dan parah

Andai saja perasaan cinta bangsa bisa membuat tubuhku tegap lagi
Bukannya membuatku terus merintih karena ngilu dan nyeri
Terkepit, melihat dan memilih antara zaman dan sumpah pemuda, globalisasi dan budaya, modernisasi dan etika.

Para pemuda, pengarang kehidupan Indonesia
Peti matiku sudah terbuka
Keluarlah kalian dari gua kepalsuan yang mengatasnamakan westernisasi itu juara
Kalian punya karakter, kalian punya Pancasila
Kulepas sudah bumi persada
Biarlah aku menyerah pada usia

Ahh, hari ini seperti inilah


22 Mei 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...