Putera memejamkan matanya, kamera analog ia letakkan di atas dada. Hannah menari-nari dalam benaknya. Gadis Lombok yang sudah mencuri hatinya. Hannah adalah gadis semampai dengan rambut yang agak kecoklatan. Ia gadis yang murah senyum. Putera tanpa sengaja bertemu pandang dengan mata hitamnya yang lebar di pinggir pantai Senggigi. Saat itu Hannah sedang membantu ibunya untuk berjualan aksesoris khas Lombok. Kalau toko ibunya sedang sepi, Hannah akan bermain bersama gadis-gadis lainnya di pinggir pantai. Berjalan-jalan di garis ombak atau mencari-cari kerang. Putera mengetahui nama Hannah setelah bertanya pada Ibunya. Semenjak saat itu, Putera betah berdiam diri di pantai dengan kacamata hitam dan kamera analog yang tersampir di bahunya. Sudah banyak pose Hannah yang ia abadikan.
Putera terbangun dari tidurnya karena udara yang panas. Matahari terpancang tepat di atas bumi. Putera mengganti kaosnya. Dengan rambut yang masih acak-acakan, ia menuruni tangga dan menuju ruang utama galeri lukis. Di ruang inilah biasanya ia dan Radit meletakkan karya-karya mereka. Berbagai macam lukisan terpampang di sana. Dan Putera menemukan Radit sedang duduk di sofa sambil membaca majalah seni.
Putera duduk di samping Radit, mengambil satu majalah dan membacanya. Beberapa menit suasana hening, hanya terdengar deru AC di ruangan itu. Hingga akhirnya Radit angkat suara.
“Kamu benar-benar mencintai gadis itu?”
“Ya,” jawab Putera singkat.
“Apa kamu yakin?”
“Sangat yakin. Baru kali ini aku menemukan gadis secantik dia,” Putera menurunkan majalahnya dan mulai berbicara lagi. “Dia sangat cantik. Lebih cantik dari Mia, Desvi, Angel, Levia, Putri, Dian... Ah, pokoknya dia sangat cantik dan aku mencintainya,”
Radit tidak menjawab lagi. Ia merasa ketakutan untuk melanjutkan pembicaraan ini. Ia sudah tahu akhir dari semuanya. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk mengubahnya, walaupun sebenarnya kuncinya ada dirinya. Tapi, ia benar-benar benci memilih dan lebih suka menganggap pilihan itu tak ada. Di balik majalah yang ia pegang, keringat Radit perlahan-lahan mengucur dari dahinya. Dalam hati ia meminta pada Tuhan agar diberi penyelesaian atas semua masalah ini.
“Aku ingin pameran ini cepat selesai, Dit,” kata Putera lagi.
“Sebaiknya kamu menikmatinya,” ucap Radit. Berharap Putera akan sibuk dengan pamerannya dan melupakan Hannah atau siapapun gadis yang ia cintai.
Pameran lukisan Putera berlansung dengan lancar. Banyak orang yang rela mengantri untuk melihat karya pelukis muda, Trisensa Putera. Putera tersenyum senang melihat antusiasme masyarakat dalam menilai karyanya, namun ia lebih senang karena sebentar lagi ia bisa melihat Hannah dan membawanya ke Jakarta. Ia ingin sekali segera mengabadikan tubuh semampai itu.
Sementara Putera sibuk dengan pameran lukisannya di bilangan Cibubur, Radit berada sendirian di galeri lukis. Ia sedang sibuk menggarap lukisannya yang bertajuk langit senja di ruangannya. Ruangannya berada tepat di sebelah ruangan Putera. Keadaannya kurang lebih sama dengan keadaan di ruangan Putera. Hanya saja lukisan-lukisan di ruangannya tertata dengan rapi. Merasa haus, Radit keluar dari ruangannya dan melangkah ke pantry.
Ketika hendak kembali ke ruangannya, tanpa sengaja Radit melihat ruangan Putera dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Ruangan Putera jarang ia masuki karena baginya ruangan itu menyeramkan. Namun saat ini, sesuatu menggelitik hatinya dan membawanya masuk ke ruang itu.
Lukisan-lukisan wanita tertata tidak begitu rapi. Radit mengenali wajah objek yang dilukis Putera. Wanita berbaju biru muda itu bernama Angel, yang berambut pendek bernama Clara, wanita dengan novel kecil di tangan adalah Desvi dan masih banyak lagi. Radit tidak bisa mengingat nama semua gadis yang dilukis Putera. Tapi Radit bisa mengenalinya karena Putera selalu mengajak orang-orang yang dilukisnya itu ke galeri lukis mereka. Dan sepertinya sebentar lagi Hannah yang akan kemari.
Beralih dari lukisan, mata Radit terkunci pada dua buah piagam yang tergantung di atas kasur Putera. Itu adalah piagam yang diraih Putera semasa kuliah dulu sebagai mahasiswa peraih nilai tertinggi di universitasnya. Sebenarnya Putera sudah mengenyam pendidikan hingga S2 di spealisasi dokter bedah. Setahun kemudian, ia kuliah lagi di jurusan seni lukis kemudian menggeluti dunia itu hingga sekarang. Putera tidak mau berprofesi sebagai dokter dengan alasan tidak sesuai dengan minatnya. Namun entah mengapa, dua piagam itu tetap tergantung dengan baik seakan Putera sangat bangga dengan pencapaiannya semasa kuliah dulu, menjadi mahasiswa termuda di kampusnya namun berhasil meraih nilai tertinggi.
Di sisi tembok yang menghadap ke balkon, Radit bisa melihat dua lukisan berukuran sedang. Lukisan itu tidak bisa dikatakan bagus. Proporsi, gelap terang, warna dan bayang-bayang, semuanya kacau. Tapi Putera juga mengistimewakan lukisan ini seperti 21 lukisan lainnya. Lukisan itu, lukisan pertama putera. Itu adalah gambar Mama dan Papanya. Setelah membuat lukisan itu, Putera menyadari bahwa ia mencintai lukisan dan mengakui juga bahwa lukisannya itu masih sangat jelek. Itulah yang membuat Putera rela mengenyam bangku kuliah lagi untuk mengambil jurusan lukis. Radit menyadari, apapun yang dilakukan Putera saat ini dimulai dari dua lukisan itu. Dimulai lagi dari segala kelebihan Putera yang benar-benar lebih sampai-sampai membuat Putera tak sanggup menerimanya dan malah membuatnya menjadi gila. Tapi, Radit juga menyadari bahwa ia juga tak senormal orang pada umumnya. Jadi ia berusaha untuk memahami Putera dengan menyamakan kondisi jiwa mereka.
Tiba-tiba handphone Radit berbunyi, ada sms dari Putera yang berisi kalau Putera akan segera datang ke galeri lukis mereka bersama beberapa orang peminat lukisan. Radit segera keluar dari kamar Putera. Sudah cukup ia menguras memori kelam Putera.
Seperti apa yang sudah direncanakan, seusai pameran Putera kembali ke Lombok untuk bertemu lagi dengan Hannah. Radit tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam dengan wajah cemas ketika melihat Putera pergi ke bandara.
(to be continued)
Baca Juga :
24 Lukisan Cinta : Hannah *1
24 Lukisan Cinta : Hannah *3
24 Lukisan Cinta : Hannah *4 (end)
Putera terbangun dari tidurnya karena udara yang panas. Matahari terpancang tepat di atas bumi. Putera mengganti kaosnya. Dengan rambut yang masih acak-acakan, ia menuruni tangga dan menuju ruang utama galeri lukis. Di ruang inilah biasanya ia dan Radit meletakkan karya-karya mereka. Berbagai macam lukisan terpampang di sana. Dan Putera menemukan Radit sedang duduk di sofa sambil membaca majalah seni.
Putera duduk di samping Radit, mengambil satu majalah dan membacanya. Beberapa menit suasana hening, hanya terdengar deru AC di ruangan itu. Hingga akhirnya Radit angkat suara.
“Kamu benar-benar mencintai gadis itu?”
“Ya,” jawab Putera singkat.
“Apa kamu yakin?”
“Sangat yakin. Baru kali ini aku menemukan gadis secantik dia,” Putera menurunkan majalahnya dan mulai berbicara lagi. “Dia sangat cantik. Lebih cantik dari Mia, Desvi, Angel, Levia, Putri, Dian... Ah, pokoknya dia sangat cantik dan aku mencintainya,”
Radit tidak menjawab lagi. Ia merasa ketakutan untuk melanjutkan pembicaraan ini. Ia sudah tahu akhir dari semuanya. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk mengubahnya, walaupun sebenarnya kuncinya ada dirinya. Tapi, ia benar-benar benci memilih dan lebih suka menganggap pilihan itu tak ada. Di balik majalah yang ia pegang, keringat Radit perlahan-lahan mengucur dari dahinya. Dalam hati ia meminta pada Tuhan agar diberi penyelesaian atas semua masalah ini.
“Aku ingin pameran ini cepat selesai, Dit,” kata Putera lagi.
“Sebaiknya kamu menikmatinya,” ucap Radit. Berharap Putera akan sibuk dengan pamerannya dan melupakan Hannah atau siapapun gadis yang ia cintai.
Pameran lukisan Putera berlansung dengan lancar. Banyak orang yang rela mengantri untuk melihat karya pelukis muda, Trisensa Putera. Putera tersenyum senang melihat antusiasme masyarakat dalam menilai karyanya, namun ia lebih senang karena sebentar lagi ia bisa melihat Hannah dan membawanya ke Jakarta. Ia ingin sekali segera mengabadikan tubuh semampai itu.
Sementara Putera sibuk dengan pameran lukisannya di bilangan Cibubur, Radit berada sendirian di galeri lukis. Ia sedang sibuk menggarap lukisannya yang bertajuk langit senja di ruangannya. Ruangannya berada tepat di sebelah ruangan Putera. Keadaannya kurang lebih sama dengan keadaan di ruangan Putera. Hanya saja lukisan-lukisan di ruangannya tertata dengan rapi. Merasa haus, Radit keluar dari ruangannya dan melangkah ke pantry.
Ketika hendak kembali ke ruangannya, tanpa sengaja Radit melihat ruangan Putera dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Ruangan Putera jarang ia masuki karena baginya ruangan itu menyeramkan. Namun saat ini, sesuatu menggelitik hatinya dan membawanya masuk ke ruang itu.
Lukisan-lukisan wanita tertata tidak begitu rapi. Radit mengenali wajah objek yang dilukis Putera. Wanita berbaju biru muda itu bernama Angel, yang berambut pendek bernama Clara, wanita dengan novel kecil di tangan adalah Desvi dan masih banyak lagi. Radit tidak bisa mengingat nama semua gadis yang dilukis Putera. Tapi Radit bisa mengenalinya karena Putera selalu mengajak orang-orang yang dilukisnya itu ke galeri lukis mereka. Dan sepertinya sebentar lagi Hannah yang akan kemari.
Beralih dari lukisan, mata Radit terkunci pada dua buah piagam yang tergantung di atas kasur Putera. Itu adalah piagam yang diraih Putera semasa kuliah dulu sebagai mahasiswa peraih nilai tertinggi di universitasnya. Sebenarnya Putera sudah mengenyam pendidikan hingga S2 di spealisasi dokter bedah. Setahun kemudian, ia kuliah lagi di jurusan seni lukis kemudian menggeluti dunia itu hingga sekarang. Putera tidak mau berprofesi sebagai dokter dengan alasan tidak sesuai dengan minatnya. Namun entah mengapa, dua piagam itu tetap tergantung dengan baik seakan Putera sangat bangga dengan pencapaiannya semasa kuliah dulu, menjadi mahasiswa termuda di kampusnya namun berhasil meraih nilai tertinggi.
Di sisi tembok yang menghadap ke balkon, Radit bisa melihat dua lukisan berukuran sedang. Lukisan itu tidak bisa dikatakan bagus. Proporsi, gelap terang, warna dan bayang-bayang, semuanya kacau. Tapi Putera juga mengistimewakan lukisan ini seperti 21 lukisan lainnya. Lukisan itu, lukisan pertama putera. Itu adalah gambar Mama dan Papanya. Setelah membuat lukisan itu, Putera menyadari bahwa ia mencintai lukisan dan mengakui juga bahwa lukisannya itu masih sangat jelek. Itulah yang membuat Putera rela mengenyam bangku kuliah lagi untuk mengambil jurusan lukis. Radit menyadari, apapun yang dilakukan Putera saat ini dimulai dari dua lukisan itu. Dimulai lagi dari segala kelebihan Putera yang benar-benar lebih sampai-sampai membuat Putera tak sanggup menerimanya dan malah membuatnya menjadi gila. Tapi, Radit juga menyadari bahwa ia juga tak senormal orang pada umumnya. Jadi ia berusaha untuk memahami Putera dengan menyamakan kondisi jiwa mereka.
Tiba-tiba handphone Radit berbunyi, ada sms dari Putera yang berisi kalau Putera akan segera datang ke galeri lukis mereka bersama beberapa orang peminat lukisan. Radit segera keluar dari kamar Putera. Sudah cukup ia menguras memori kelam Putera.
Seperti apa yang sudah direncanakan, seusai pameran Putera kembali ke Lombok untuk bertemu lagi dengan Hannah. Radit tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam dengan wajah cemas ketika melihat Putera pergi ke bandara.
(to be continued)
Baca Juga :
24 Lukisan Cinta : Hannah *1
24 Lukisan Cinta : Hannah *3
24 Lukisan Cinta : Hannah *4 (end)
Komentar
Posting Komentar