Langsung ke konten utama

24 Lukisan Cinta : Hannah *3

Dua minggu kemudian, Putera kembali. Tentu saja tidak sendiri, ia kembali bersama Hannah. Seperti yang sudah dijabarkan Putera, Hannah memang cantik, sangat cantik. Raditpun sampai terpesona dibuatnya. Matanya yang lebar dan rambut kecoklatannya yang lebat menjadi daya tarik yang begitu kuat. Sejenak setelah memandangi Hannah yang terbalut dress hijau muda, Radit menyadari betapa tidak beruntungnya menjadi gadis cantik di atas dunia yang ditinggali oleh Putera. Setelah berbasa-basi sejenak dengan Radit, Putera mengajak Hannah ke ruangannya. Tentu saja lukisan-lukisan wanita di ruangannya sudah ia simpan di tempat lain. Ruangan Putera terlihat kosong hanya dengan kasur, sofa kecil dan kanvas putih yang besar.
“Radit, apa kau punya cat minyak cadangan?” seru Putera ketika ia menuruni tangga lagi.
“Tii... tii... dak. Yang ada hanya cat yang sudah terpakai,”
“Ah... Tolong temani Hannah, aku mau pergi membeli cat minyak dulu,” Radit memakai topi hitamnya.
“Putera,” panggil Radit pelan.
“Ya,”
“Kamu benar-benar mau melukis Hannah?”
“Tentu saja.”
“Dan kamu akan melukisnya seperti wanita-wanita yang lain?” Radit menatap Putera dengan wajah sendu.
“Kurasa kamu sudah tahu kebiasaanku,” jawab Putera dengan nada datar.
“Putera, sudah terlalu banyak jiwa yang kamu korbankan. Tolong hentikan semua ini,” Radit mendekati Putera.

“Apa yang harus kuhentikan? Tidak ada jiwa yang kukorbankan. Wanita-wanita itu datang dengan sendirinya ke hadapanku. Aku tidak pernah memaksa mereka,”
“Putera! Apa kau tidak memikirkan perasaan keluarga wanita-wanita itu?” Radit mendekati Putera lagi.
“Apa mereka pernah memikirkan perasaanku? Tidakkan? Aku hanya memberikan perlakuan yang setimpal pada mereka. Sudahlah, kau temani saja Hannah. Aku mau pergi beli cat minyak dulu,” jawab Putera dengan tenang lalu melesat dengan mobil mewahnya.
Radit menatap kepergian Putera dengan rasa kecewa. Lalu perlahan ia menaiki tangga menuju ruangan Putera. Setidaknya, ia bisa membuat Hannah merasa bahagia sebelum ia menemukan makna lukisan bagi Putera.
Alunan instrument Kenny G mengalun halus dari ruang Putera. Radit terbangun dari tidurnya yang memang tak nyenyak. Jam tiga pagi. Perlahan Radit berjalan menuju tembok yang membatasi ruangnya dengan ruang Putera. Radit tahu, Putera sudah menyelesaikan lukisannya. Ia punya 24 lukisan wanita sekarang.
Dengan tangan bergetar, Radit mengambil handphonenya. Bulir-bulir bening mengalir dari matanya. Sisi wanitanya muncul. Radit berusaha keras agar ia tak menangis lebih keras lagi, namun yang ada nafasnya menjadi sesak dan airmatanya semakin deras keluar.
Jam tiga lebih lima belas menit, Radit masih menangis. Ia masih bergetar ketakutan. Kali ini ia mengalah. Ia biarkan sisi wanitanya keluar. Ia biarkan tubuhnya bernostalgia dengan jiwa perempuannya. Ia merasa lelah berpura-pura tegar. Ia merasa lelah berpura-pura menjadi pria agar terlihat tegar. Radit mulai mengerti, wanita bisa menjadi lebih tegar dengan tangis. Radit, lebih tepatnya Aira Dita Clarenza mulai menekan beberapa tombol di handphonenya. “Maafkan aku, Putera,” bisik Aira.
Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi.

(to be continued)

Baca juga :
24 Lukisan Cinta : Hannah *1
24 Lukisan Cinta : Hannah *2
24 Lukisan Cinta : Hannah *4 (end)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...