Langsung ke konten utama

LATE "HAPPY BIRTHDAY"

Telat ya, Ka? Telat banget malahan. :"
Maaf ya, saya sengaja kok. *eh*
May I be someone special for you as the latest person? :3

Karena jarak, ini yang bisa saya kasih. I write it happily. Selama ini saya ngasih kamu naskah karena kamu minta. But now, lemme' give you my script as your birhday present.

Semoga nggak mengecewakan. Happy reading, darl~





WHERE DOES HE GO? ...

7 April. Jam sembilan pagi.

Ika tercenung menatap layar tab dan handphonenya. Menyesap kopi hitam demi mengawali harinya yang pahit.

Dari 89 ucapan ulang tahun di wall facebooknya, 20 ucapan selamat panjang umur melalui pesan, 30 mention-an di twitter, serta belasan pesan singkat pengingat umur di handphonenya, tak ada satupun ucapan selamat ulang tahun dari kekasihnya. Bahkan orang pertama yang mengucapkan ‘happy birthday’ adalah Vanti, sahabat kecilnya yang tengah sibuk mengebor minyak di laut lepas. Ucapan kedua datang dari orangtuanya, beserta ajakan untuk makan malam bersama di rumah Mamanya. Sama sekali tak ada ucapan dari kekasihnya itu.

Puas menatap layar benda-benda digital itu, Ika meneguk habis kopi hitamnya. Mengambil jas lab dan pergi ke klinik. Setidaknya, pekerjaan bisa membuat waktu berjalan lebih cepat. Terang saja ia masih berharap kekasihnya sendiri tidak melupakan hari ulang tahunnya.

...

Jam lima sore.

Ika tercenung menatap layar tab dan handphonenya. Menyesap secangkir teh tarik demi mengakhiri pekerjaannya yang padat hari ini.

Satu persatu ia buka notifikasi di akun sosial miliknya, mengecek sms di handphonenya, namun kelam hatinya tak kunjung hilang. Belum ada ucapan ulang tahun yang ia harapkan. Ika menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Ayolah, apa pria itu benar-benar tak punya waktu untuk mengiriminya pesan singkat untuknya.

Setelah meneguk habis teh teh tariknya, Ika bergerak meninggalkan  kantin klinik, menyambar jaket lab di sandaran kursi.

“Ika! Di situ kau rupanya. Aku mencarimu dari tadi!”

Ika menoleh dan melihat Nanda berjalan ke arahnya. Temannya itu membawa satu kota besar berpitakan biru muda. Menyambut teman kerjanya yang baik itu, Ika tersenyum lebar.

“Selamat ulang tahun. Maaf, aku baru bisa memberimu kado sore ini,” Nanda memberikan kotak itu pada Ika. Sedikit membuat wanita itu kewalahan, karena tangan kirinya memegang jaket lab dan tangan yang lainnya memegang tas tangannya yang cukup besar.

“Nandaaa!! Apa ini?? Seharusnya kamu tak usah repot-repot memberiku ini!”

“Tak apa. Untuk sahabat terbaik sedunia, ini tidak ada apa-apanya. Terima saja, ne? Atau aku tidak akan mau mengingat ulang tahunmu lagi,” ancam Nanda sambil menggembungkan pipinya. Membuat wanita cubby itu tampak semakin lucu.

Ikka mengangguk senang. Rasa hangat menjalar di hatinya. Setelah meletakkan kado itu di dalam mobilnya, ia memeluk Nanda dengan erat. Sambil mengucapkan terimakasih.

“Hei, hei... Ceritakan padaku, apa kamu sudah mendapatkan hadiah spesialmu?”

Ika melepaskan pelukannya. Ia tahu apa yang dimaksudkan Nanda. Tapi, “Apa maksudmu?” ujarnya.

“Tentu saja kado dari dia! Kamu kira aku tidak ingat bagaimana kamu begitu bahagia saat menerima kado darinya?” goda Nanda lagi.

“Mmm... Bagaimana aku harus menjawabnya ya?” jawab Ika seraya mengedip-ngedipkan matanya.

“Ahhh.... Aku mengerti. Tentu saja tahun ini kadonya berbeda bukan?”

“Hahahaha... Lihat, tanpa kuberitahu saja kamu sudah mengerti,” timpal Ika. Lalu mereka berdua tertawa. “Ya, tak baik merusak kebahagiaan orang lain karena masalah pribadi,” bisik hati Ika.

...

Jam sebelas malam.

Ika meletakkan kepalanya di lengan sofa, menatap langit-langit ruang tengah. Lalu mengarahkan pandangannya ke jam dinding. Satu jam lagi, dan resmi sudah ia tak mendapatkan ucapan ulang tahun dari pria itu.

Orang-orang di klinik, sahabat-sahabatnya, orangtuanya memberikannya kenangan indah hari ini. Mengingatkan betapa dua puluh empat tahun telah ia lalui dengan begitu berharga. Namun, pria itu malah mengukuhkan eksistensi kepingan kosong di hatinya karena ia menghilang begitu saja di hari ulang tahunnya.

Sesak.

Dadanya terasa sesak.

Otak Ika berupaya berpikir rasional, ucapan ulang tahun bukanlah hal besar untuk diributkan. Ya, pria itu tengah bekerja. Wajar saja jika ia melupakan hari ulang tahun Ika. Lagipula selama mereka masih bisa bersama, melupakan ucapan ulang tahun bukanlah pemicu yang pantas untuk sebuah pertengkaran.

Sesak.

Dadanya masih terasa sesak.

Hati Ika yang emosional, menggerogoti pikirannya. Bertahun-tahun sebelumnya, pria itu tak pernah sekalipun melupakan hari ulang tahun Ika. Berulang kali menjadi orang pertama yang mengingatkannya bahwa usianya bertambah. Berulang kali menjadi orang yang rela mengantarkan kue tart dan kado untuknya. Hingga membuatnya yakin bahwa pria itu memang mencintainya dengan tulus. Namun, mengapa saat ia telah menyerahkan semuanya, pria itu menghilangkan kebiasaannya, kebiasaan yang membuat Ika yakin ia adalah wanita beruntung karena memiliki dan dimiliki pria itu.


Ika menoleh malas ke arah tv yang tiba-tiba berisik. Menunjukkan penggalan aksi peperangan abad klasik. Dengan rasa malas, ia mematikan kotak bodoh itu. Lalu memaksa dirinya untuk tidur. Meyakinkan dirinya sendiri, ia akan baik-baik saja bahkan tanpa ucapan ulang tahun itu.
*to be contiuned*

Ka, kekasihmu itu siapa?
Thats will be my next present for you, :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...