Langsung ke konten utama

DESTINEE


“Hei, sekarang jam berapa?”

“Setengah enam. Mau pulang?”

“Tidak. Gambarku masih belum selesai.”

“Oh ya, bukannya besok kamu ada kuis kalkulus?”

“Hih. Shut your mouth and mind your own business, Efraim. Jangan ganggu aku!”

“Oke.”

“By the way, skripsimu bagaimana?”

“Apa? Aku tidak bisa mendengar suaramu.”

“Dih!” Ruina memutar bola matanya ketika melihat headset ipod miliknya sudah ada di kuping Efraim. Sementara ipod yang duduk manis dipangkuan Ruina dalam keadaan mati, tak ada lagu yang terputar. Namun pria itu mengangguk-anggukkan kepala seperti kepala ayam saat berjalan, mengikuti irama delusi di pikirannya. “Stupid, boy,” gerutu Ruina dalam hati, lalu kembali melanjutkan gambarnya.


Di barat Jakarta, warna jingga mulai turun ke bumi. Menimpa menara, atap gedung, batu dan jalan. Menit-menit berharga yang ditunggu oleh lensa-lensa kamera, momen pengabadian kelembutan kota tua dalam warna senja. Menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka yang bisa mengabadikan klasiknya kota ini dalam senja. Meskipun pada akhirnya foto tersebut seringkali berakhir di instagram dengan beberapa lapis editan.
Sementara itu, saat banyak manusia mencari spot terbaik untuk foto, Ruina dan Efraim tak beranjak dari Djakarte Cafe. Aroma teh pepermint hangat bercampur dengan aroma crayon Ruina. Tinggal sedikit pewarnaan lagi sebelum gambarnya yang bertajuk keramaian kota tua selesai.

“Tik tik tik tik tik tik tik tik tik tik .... Tak!” Jemari Efraim terus menari di atas keyboard laptop. Di hadapan Ruina, dengan headset yang masih bertengger di kuping, Efraim duduk dengan posisi yang agak bungkuk. Kopi hitam pesanannya sudah dingin sejak tadi, belum tersentuh.

“Hei, Efraim. Apa menurutmu kita tidak terlalu berlebihan?” Ruina membuka percakapan lagi.

Efraim menoleh sedetik, “Maksudmu?” tukasnya sambil mengetik kembali. Pria yang satu ini memang memiliki konsentrasi yang tinggi dalam menulis. Meskipun ada bom meledak sekalipun, ia tak akan kesulitan untuk mengetikkan ceritanya.

Jemari Ruina menjelajah kontur tembok kafe yang berwarna putih pucat. Senja yang hampir sepenuhnya meluruh, membuat tembok bangunan itu terlihat lebih kusam. “Kamu tahu kan... Besok aku akan menghadapi kuis kalkulus. Dan kamu... skripsimu bahkan katamu sendiri tidak meyakinkan. Jadi... .”

“Hei, hei, hei! Siapa bilang skripsiku tidak meyakinkan? Dengan kemampuan menulisku ini, kamu akan melihat skripsiku dipajang di rak khusus perpustakaan kampus,” potong pria itu. Matanya masih fokus pada laptopnya.

Tawa ringan Ruina mengisi kubikel-kubikel udara di sekitar mereka? “Skripsi terbaik? Untuk mahasiswa sepertimu?”, matanya yang sipit melengkung, terbingkai bulu matanya yang tebal.

Semburat tipis merah muncul di pipi Efraim saat ia tak sengaja menatap wajah Ruina. Tiga detik, konsentrasinya terhadap draft novelnya hilang, “He... Hei, siapa yang menyuruhmu tertawa seperti itu? Lihat saja, kau akan menyesal karena meremehkan aku,” tukas Efraim, agak terbata.

Tawa Ruina menjadi semakin keras, bahu gadis itu sampai berguncang. Hingga tak sengaja ia menjatuhkan crayon hijau ke cangkir tehnya. Seperti pikirannya yang tak sengaja melupakan ‘kuis integralnya di esok hari’.
...
Djakarte Cafe, Taman Fatahillah.

17.30

Masih saja sama, seperti tahun-tahun yang lalu. Aroma pepertmint dan roti bakar mendominasi tempat ini. Pelayan cafe tetap mengantarkan minuman dingin dalam toples pada orang yang memesan, tak lupa minuman hangat dalam cangkir keramik yang tebal dan besar.

Di sana Ruina duduk terpaku, dengan secangkir teh peppermint hangat. Ya, bahkan menu favorit Ruina belum berubah. Hanya tembok kafe yang mulai kusam warna putihnya yang menunjukkan eksistensi waktu.
“Comment allez-vous? Sudah bertemu dengannya?”

Sudut-sudut bibir Ruina tertarik ke atas, tersenyum saat membaca pesan dari Jo. Gesit, jemarinya mengetikkan pesan balasan untuk teman sejawatnya itu. Pria metroseksual asal kota khatulistiwa. Ah, lelaki itu pasti sedang sibuk mencari cokelat untuk kekasih-kekasihnya. Dan Ruina terkikik kecil saat tanpa diminta lelaki itu mengirimkan foto cokelat di toko permen, meminta pertimbangan Ruina. Asal saja, Ruina memilih dark chocolate dalam kotak bening berpitakan merah maroon.

“Permisi, apa kursi ini kosong?”

Ruina mendongak dan menemukan sepasang pupil cokelat menatapnya dengan hangat. Seorang wanita dengan wajah oval dan dagu yang tidak simetris sempurna tengah tersenyum padanya. Rambutnya yang lurus jatuh alami di antara syal hijau mudanya. Ruina membalas senyumnya sambil mengangguk kecil, walaupun hatinya terasa agak kecut. Karena kursi di hadapannya itu sebenarnya ia harapkan diduduki oleh orang yang tengah ia tunggu. Namun, apalah dayanya jika kafe tengah ramai.

Gadis itu memesan es teh peppermint dengan ekstra gula pada pelayan. Tersenyum kembali pada Ruina sebelum mengeluarkan sebuah buku gambar dan kotak pensil dari ranselnya. Tak lama kemudian, gadis itu sudah tenggelam bersama buku gambarnya. Bahkan hanya menoleh sesaat untuk mengucapkan terimakasih pada pelayan yang datang mengantarkan pesanannya.

Layaknya sebuah kaset yang diputar ulang, pikiran Ruina merefleksikan dirinya dalam gadis itu. Bagaimana ia bisa menciptakan dunianya sendiri, tak peduli seramai apapun orang di kafe. Bagaimana ia bisa menyisihkan beberapa jam waktunya, menjadi apatis untuk memanjakan dirinya. Tanpa peduli kuis integralnya. Masih lekat dalam pikiran Ruina bagaimana perutnya terasa sakit saat melihat soal kuisnya, cacing di mana-mana. Namun, ia tak pernah menyesal.

“Kebahagiaan datang dari rasa bahagia, dan menjadi bahagia itu sederhana saja. Tanyakan saja pada hatimu.”

Prinsip hidup yang konyol, pikir Ruina pada awalnya. Namun semakin lama, ia merasakan getar-getir kehidupan, dua kalimat itu semakin melekat pada dirinya.

“Ya, bahagia itu sederhana. Tak melulu dengan nilai kuis integral yang tinggi maka hidup akan bahagia. Menyadari bahwa kau bisa bernafas dengan tenang adalah suatu kebahagiaan bisa dirasakan setiap manusia.”

Ruina tersenyum lagi saat mengingat penjelasan dari dua kalimat sebelumnya. Kala itu ia hanya bisa tersenyum masam, mengangguk-anggukkan kepala setengah menerima bahwa pria itu benar. Bahwa saat itu Efraim yang terkadang menjadi sangat apatis itu benar. Kebahagiaan itu sederhana.

“Mm.. apa Anda seorang pelukis?” tegur Ruina pada wanita di hadapannya itu.

Wanita itu mendongak sedikit dari kertas gambarnya. Tersenyum kecil, melanjutkan pekerjaannya lalu berkata, “Tidak. Hanya hobi yang membuat saya bahagia. Seperti bagaimana menulis membuat suami saya bahagia,” jawabnya tenang, laiknya riak pertama di kolam di pagi hari.

Ruina tersenyum kembali, Efraim adalah seorang penulis. Dan mereka berdua juga sering duduk di kafe ini. Bertukar gerutukan, candaan dan juga pelajaran hidup yang bijak, meskipun yang terakhir ini sangat jarang terjadi. Mereka terus membangun mimpi, tak peduli apakah korelasi antara penulis novel dan mahasiswa tehnik geodesi atau hubungan antara pelukis amatiran dengan mahasiswi statistik. Keyakinan Ruina, karena mimpi-mimpi itulah ia berkesempatan melanjutkan studi S2nya di Paris, kota seni!

“Hari ini Anda bersama dengan suami juga?” tanya Ruina lagi.

Wanita itu mengangguk, “Ya, sebentar lagi dia datang. Oh ya, panggil saja saya Audi.” Audi mengulurkan tangan kanannya. Cincin platina di jari manisnya memantulkan cahaya tembaga senja.

“Cincin pernikahan yang indah,” bisik Ruina dalam hati, seraya menjabat tangan wanita itu. “Ru,” tukasnya menyebut nama panggilannya saat ia kuliah di Paris.

Notifikasi email di handphonenya membuat wajah Ruina sumringah, email dari Efraim! Pria itu sudah dekat dengan Djakarte Cafe. Dengan pasti ia merasakan jantungnya berdebar tak pasti. Bagaimanakah rupa pria aneh itu sekarang? Apa ia masih gemar menyandang notebooknya kemana-mana dan duduk di cafe dengan segelas kopi hitam yang ia minum sedikit, paling banter empat teguk. Itupun kalau ia ingat ia sudah memesan kopi.

Ruina menarik nafas lebih panjang dari biasanya dan menghembuskannya perlahan. Debaran jantungnya tak akan sekencang ini jika ia dan Efraim tak hilang komunikasi. Tepat setahun sebelum upacara kelulusannya, Efraim memutuskan kontak dengannya. Nomor handphonenya tak aktif dan semua akun dunia mayanya di non aktifkan. Kalang kabut Ruina mencari informasi tentang pria itu. Tapi nihil! Hingga akhirnya tiga hari sebelum hari ini, ia menemukan sebuah akun facebook, tanpa foto dengan nama lengkap Efraim. Kala itu, bergetar tangan Ruina saat mengarahkan kursornya ke arah permintaan pertemanan. Setidaknya ia ingin Efraim tahu kalau ia sudah lulus dari kuliahnya di Paris dan sudah pulang ke Indonesia.

“Sudah lama?” suara rendah-renyah terdengar akrab di telinga Ruina. Takut-takut, Ruina mendongak ke sumber suara. Lalu merasakan jantungnya akan jatuh saat melihat siapa yang datang.

Efraim!

Pria itu tampak lebih dewasa sekarang. Garis wajahnya lebih tegas. Pandangan matanya lebih dalam. Kacamata tanpa bingkai bertengger di hidungnya yang tokoh dongeng, mancung dan melengkung.

Dan jantung Ruina tiba-tiba jatuh ke bawah meja kafe saat ia melihat Audi memeluk Efraim. “Tidak juga. Tadi aku melihat-lihat jualan gelang-gelang kayu itu,” jawab Audi renyah. Ruina merasa nafasnya sesak.

Efraim duduk di samping Audi, menoleh kesana-kemari sebelum mendengus, “Ruina yang mana ya? Dia bilang akan menungguku di sini,” tukasnya.

Ruina menggigit bibirnya keras-keras. Menahan air matanya. Sandiwara apa ini? “Efr...”

“Sabar, Mas. Kamu tak perlu memaksakan diri seperti itu. Nanti kepalamu sakit lagi,” timpal Audi, lalu menyesap es tehnya. Sementara itu, Ruina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menahan diri untuk tidak berteriak atau melakukan hal bodoh lainnya. Sebenarnya apa yang terjadi?

Efraim memasang wajah frustasi, lalu menyisirkan jemarinya di rambutnya. “Entahlah. Tapi sepertinya otakku memang bekerja lambat setelah kecelakaan itu, bahkan sepertinya ingatanku belum kembali setengahnya.”

“Iya, aku tahu. Makanya kamu selalu bersemangat untuk menemui teman-teman lamamu bukan?”

Efraim mengangguk kecil, menanggapi perkataan Audi. Sementara Ruina, setelah mengambil berlembar-lembar tisu kafe untuk menahan air matanya yang akan tumpah, menaruh selembar uang di bawah cangkir tehnya. Ia berdiri dan bersiap pergi.

“Kau sudah mau pergi, Ru?” Audi memanggilnya. Susah payah, Ruina menoleh. Menatap tangan Audi yang melingkari lengan Efraim. Melihat pandangan Efraim yang sejuk. Ah, Ruina tak mampu menahan air matanya lagi. Dengan suara sengau ia menjawab. “Aku harus mencari sesuatu.” Kemudian berbalik arah lagi.

“Apa itu, Ru? Apa kau mau kami membantumu mencarinya?” tanya Audi, prihatin.

Untuk terakhir kalinya, Ruina menoleh ke belakang lagi, “Tidak perlu. Lagi pula, aku tidak yakin aku bisa menemukannya kembali. Au revoir.” jawabnya lirih. Meninggalkan dua orang itu dengan perasaan bingung.

Ruina terus melangkah cepat, hingga akhirnya berlari. Laiknya air matanya yang pada awalnya menetes, lalu mengalir hingga mengaburkan pandangannya. Pikirannya sedang tak rasional, hatinya menjadi sangat emosional, saat ia melihat sesuatu berkilau di jari manis Efraim tadi. Sudah tak ada yang bisa ia ubah.

Ruina tak memperlambat langkahnya, bahkan saat ia mendekati jalan raya. Kekacauan tengah mengontrol dirinya.

“DIN DIN!” “Minggir!”

Sesaat Ruina hanya melihat kilauan cahaya, sebelum merasakan dirinya ditarik begitu saja.

“Buk!”

“Hei, apa kamu baik-baik saja?” suara bariton mengisi telinganya.

Sejenak, pandangan Ruina menjernih dan ia melihat sepasang bola mata hitam. Selanjutnya, pandangannya menghitam seluruhnya.

Kau bilang, aku hanya perlu bertanya pada hatiku.
Tapi, bagaimana aku bertanya jika hatiku telah kau remukkan?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

FALL IN LOVE WITH A BAD BOY

AKUMA DE KOI SHIYOU / FALL IN LOVE WITH BAD BOY @2012 Anashin Gramedia/2013 Rp 18.500 4/5 stars DI judulnya ada embel-embel 'Bad Boy'. Tapi karakter pria yang muncul di covernya tidak berantakan. cuma berdiri dengan posisi cool  dengan kemeja yang setengah terbuka. *nosebleed* Jadilah, komik ini terbawa ke meja kasir. rasa penasaran menggelitik hati, di bagian mana pria itu menjadi bad boy? sebab tampilannya di cover tidak sepenuhnya menunjukkan ke bad boy annya. ringkasan di bagian belakang cover tidak begitu menjual sebenarnya, terlalu umum untuk komik-komik remaja bergenre romance. begini ringkasannya: cowok yang ditaksir Narumi adalah cowok populer di sekolah. Tapi ternyata cowok itu menyimpan sebuah rahasia! Melihat kakaknya yang playboy, Narumi yang masih SMA diliputi kebimbangan soal cinta. Tapikemudian ia jatuh cinta pada Sena-kun, teman sekolahnya yang juga seorang model terkenal. Saat pulang sekolah, tanpa sengaja Narumi mengetahui 'keburukan' S

Kenapa Menikah Muda

Dingin. Gerimis. Gelap. Jalanan yang berlubang. Perut yang kelaparan. Pintu kulkas terbuka seperti pintu masuk minimarket di malam minggu. Sebentar-sebentar lampunya menyala sebelum mati untuk sebentar saja. Benda kotak setinggi satu meter itu jadi kotak pendingin tak berguna. Selain karena listrik yang padam semenjak tiga jam yang lalu, juga karena ia hanya berisi sirup markisa dan terasi udang merk tiga abjad. Ah, oh ada juga bumbu nasi goreng. Aku menggeliat-geliat di kasur, di bawah selimut merah muda. Mengeluh, merutuk kebodohan sendiri karena selalu lupa beli makan malam sepulang dari kantor. Kan kalau sudah malam gelap gulita begini, aku hanya jadi perempuan pengecut dengan segala kenegatifan di pikirannya. Terlampau takut dan malas untuk keluar mencari makan. Lebih memilih untuk menikmati lapar daripada menyalakan motor dan mencari warung yang buka. Bekerja jauh dari pusat kota memang memaksaku untuk hidup disiplin. Warung-warung makan yang tak pernah buka lebih dari j

KALO JATUH GAK PERAWAN !!!

Di suatu sore menjelang senja, aku lagi pemanasan sebelum lari. Mulai dari gerak-gerakin kepala, tangan, meregangkan pinggang dan terakhir angkat kaki. Tak lupa sesekali ikut bernyanyi bersama Broery Marantika  ~~~ di suatu senja dimusim yanggg lalu~~~  *ada yang tau ini tahun berapa?*... "HUP!" tiba-tiba keseimbangan kaki kiriku oleng. "KALAU JATUH GAK PERAWAN!!" Suara tiga puluh satu orang itu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Cepat-cepat aku mengembalikan keseimbangan agar kaki kananku tak menjejak tanah apalagi sampai membuat jatuh.