Langsung ke konten utama

KALO JATUH GAK PERAWAN !!!



Di suatu sore menjelang senja, aku lagi pemanasan sebelum lari. Mulai dari gerak-gerakin kepala, tangan, meregangkan pinggang dan terakhir angkat kaki. Tak lupa sesekali ikut bernyanyi bersama Broery Marantika  ~~~ di suatu senja dimusim yanggg lalu~~~  *ada yang tau ini tahun berapa?*...

"HUP!" tiba-tiba keseimbangan kaki kiriku oleng.

"KALAU JATUH GAK PERAWAN!!"

Suara tiga puluh satu orang itu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Cepat-cepat aku mengembalikan keseimbangan agar kaki kananku tak menjejak tanah apalagi sampai membuat jatuh.


Bersamaan dengan keseimbanganku, pikiranku pun kembali terputar ke tahun 2011. Saat aku masih berkelas di sebuah lab fisika, berkumpul dengan tiga puluh satu orang lainnya di lingkungan XI IPA 1. Usut punya usut, kelas yang pernah menjadi bagian hidupku itu adalah kelas yang isinya orang-orang pilihan. Ya, tiga puluh dua orang di kelas itu berisi siswa-siswa pilihan dari delapan kelas sepuluh.

Lalu bagaimana suasana kelas kami itu? Oh~~ oh~~ jangan harap akan ada kelas dengan tingkat keseriusan tinggi. Karena bagiku sendiri kelas XI IPA 1 adalah kelas terkonyol dan teribut yang pernah kami tempati selama ini. Banyak-banyak hal-hal yang kami lakukan yang seharusnya tidak dilakukan oleh kelas bertitle kelas unggulan. Tapi begitulah kami, spontanitas-spontanitas yang sering kali muncul tiba-tiba dan membuat kami tertawa serta membuat guru-guru kami geleng-geleng kepala.

Salah kekonyolan kami rutin kami laksanakan pada jam olahraga. Setiap kali melakukan pemanasan dengan mengangkat salah satu kaki untuk melatih keseimbangan, spontan kami akan berteriak 'YANG JATUH GAK PERAWAN' seraya mencari-cari siapa-siapa di antara kami yang hendak oleng. Kami terus berteriak sampai membuat guru olahraga kami tertawa dan mendesah 'apa-apaan ini?'. Entah siapa yang menciptakan slogan itu, aku tidak ingat. Namun yang aku ingat, sepanjang tahun pelajaran di jam olahraga suara kami itu tetap mengisi lapangan dan selalu mengundang reaksi heran dari kelas sekitar ataupun dari kelas rendah yang juga berolahraga.

Pada awalnya, banyak yang kehilangan keseimbangan, terutama yang perempuan. Entah karena memang tak seimbang atau karena tak tahan akan kekonyolan yang kami buat sendiri itu. Akupun pernah terjatuh karena tak tahan menahan sakit perut akibat tertawa berlebihan. Alhasil, kuping ku dan teman-teman lainnya harus siap menerima ejekan-ejekan yang terkait dengan hal sensitif tersebut. Namun semakin sering kami berolahraga bersama, semakin sedikit dari kami yang terjatuh. Bahkan pada satu titik tak ada lagi yang jatuh. Semuanya berhasil menahan keseimbangan. Dan kamipun... mulai bosan~~~.

Cerita tak berhenti sampai di situ saja. Melihat peningkatan kami dalam menjaga keseimbangan, Septian atau yang lebih cocok dipanggil Jowo -karena medok jawanya yang super terdengar- yang selalu memimpin pemanasan mulai menguji keseimbangan kami. Hitungan di bagian kaki mulai dilambat-lambatkan, terutama di posisi sulit. Misalnya saat kami mengangkat salah satu kaki lurus-lurus ke depan. Bahkan pria dengan ukuran terbesar di kelasku itu menambah-nambahkan gerakan yang sebenarnya tak masuk bagian pemanasan. Tujuan dia melakukan itu? Tentu saja untuk membuat salah satu atau kalau bisa banyak dari kami untuk oleng dan terjatuh. Sehingga kami bisa berteriak 'NAAA... GAK PERAWANN!!." Ohya, walaupun kami tetap menggunakan istilah 'tidak perawan' bagi para pria. Kami tidak mau repot-repot membedakan sebutan antara siswi dan siswa walaupun sebutannya jelas-jelas berbeda (red : kelas malas).

Hingga suatu ketika, saat pemanasan absurd di bagian kaki itu dilaksanakan...

"GUBRAKK!!"

Ada yang jatuh, pemirsaahh... Dan korban kali ini, ada seorang siswi berambut ikal lebat yang gampang ngakak, W (disamarkan) :p. Ia sudah tak dalam posisi satu kaki diangkat. Wajahnya memelas, lagak-lagaknya memohon agar kami tak mengeluarkan teriakan itu. Tapi apa daya? Begitulah resiko menjadi bagian dari kelas terkonyol dan terjahil. Spontan kami berteriak, "NAA... W. GAK PERAWANN!!", taklupa kami tetap menahan satu kaki kami agar tak terjatuh.

Rupa-rupanya tak terima diteriaki seperti itu di tengah lapangan, siswi yang agak panikan itu pun membela diri. Sayang sekali, karena gugup atau karena malu, ia mengeluarkan kalimat yang malahan membuat posisinya semakin tersudut. Ia berteriak, "III... GARA-GARA M (disamarkan) :p TAUU!!"

Sedetik kami melongo dan terdiam.

 Detik kedua kami melihat ke arah M yang berdiri di samping si W sambil cengar-cengir mesem-mesem.

Detik ketiga kami mengerti dan berteriak lagi... "NAA M!! KAMU APAIN ANAK ORANGG??!"

Tiba-tiba Pak Guru kami melontarkan sesuatu yang membuat kami terdiam, "M? Kenapa bisa?"

Tawa kami membuncah, meledak hingga radius satu kilometer (bohong) hingga mengakibatkan banyak orang mengalami kerusakan telinga (bohong lagi). Ternyata Pak Guru kami yang sebelumnya selalu geleng-geleng kepala mendengar motto kami itu ikut terbawa suasana. Hahaha... XD

Siswa berlesung pipit itu menyangkal habis-habisan, tak lupa pula ia menumpahkan kekesalannya pada si W yang membuat semuanya makin rumit. Ternyata, fakta sebenarnya adalah saat pemanasan, si M mengganggu si W dengan kata-kata lucu hingga W tidak sanggup lagi untuk menahan keseimbangannya. Tapi sudahlah... anggap saja fakta itu angin lalu. Karena semenjak itu hingga akhir kelas XI kami mengejek-ngejek keduanya. Terkadang menjadikan mereka pasangan. Walaupun sebenarnya mereka sudah punya pasangan masing-masing. *sorry ya*

Dan akhirnya kalimat yang tak pernah absen diteriakkan begundal-begundal di kelasku itu kini malah menjadi motivasiku untuk bisa menjaga keseimbangan saat mengangkat kaki begini. Ah, apa kabar kalian semua, sudah lama tak bersua? :') Mari bertemu dengan memmbawa cerita kesuksesan suatu saat nanti, :')

~~Semua terserah padamuu~~ Aku begini adanya ~~~

Broery Marantika dan Dewi Yull sudah berganti lagu untuk sekian kalinya. Ah, rupanya aku terlena akan nostalgia XI IPA 1. Segera aku menyelesaikan pemanasanku sebelum pergi berlari ke arah matahari terbenam.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...