Langsung ke konten utama

Postingan

Kenapa Menikah Muda

Dingin. Gerimis. Gelap. Jalanan yang berlubang. Perut yang kelaparan. Pintu kulkas terbuka seperti pintu masuk minimarket di malam minggu. Sebentar-sebentar lampunya menyala sebelum mati untuk sebentar saja. Benda kotak setinggi satu meter itu jadi kotak pendingin tak berguna. Selain karena listrik yang padam semenjak tiga jam yang lalu, juga karena ia hanya berisi sirup markisa dan terasi udang merk tiga abjad. Ah, oh ada juga bumbu nasi goreng. Aku menggeliat-geliat di kasur, di bawah selimut merah muda. Mengeluh, merutuk kebodohan sendiri karena selalu lupa beli makan malam sepulang dari kantor. Kan kalau sudah malam gelap gulita begini, aku hanya jadi perempuan pengecut dengan segala kenegatifan di pikirannya. Terlampau takut dan malas untuk keluar mencari makan. Lebih memilih untuk menikmati lapar daripada menyalakan motor dan mencari warung yang buka. Bekerja jauh dari pusat kota memang memaksaku untuk hidup disiplin. Warung-warung makan yang tak pernah buka lebih dari j
Postingan terbaru

K O P I

“Kenapa pria senang minum kopi?” Ia mendongak dan menatapku dengan matanya yang bundar. “Karena sudah terbiasa dan merasa cocok, ya akhirnya suka.” “Aku bertanya tentang kopi, bukan jodoh lo ya.” Ia tertawa aneh. “Tapi itu jawabanku lo.” Kami tertawa bersama

Wanita yang Ditinggalkan Waktu : Seharusnya Menunggu

Ia terbangun karena sesak napas. Rasanya seperti seluruh udara dicabut dari paru-parunya. Tersedak, ia cepat-cepat bangun dari kasur. Mengangkat kepalanya dari bantal. Namun, itu membuat kepalanya terasa seperti mau meledak karena memaksa diri untuk bangun sebelum kesadarannya sepenuhnya terjaga. Matanya menatap seisi kamar. Gelap. Sebelum tidur tadi ia mematikan lampu. Lalu ia meraba-raba kasur dengan tangan dan kakinya, mencari kacamata. Tak ia temukan, ia memutuskan untuk bangun dan mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, ia kembali ke kenyataan. Kamarnya masih saja berantakan. Kabel dimana-mana. Cucian yang belum dilipat tergeletak di lantai. Pouch make-up nya ada di rak buku, kosong. Sementara isinya tersebar dimana-mana, di lantai. Ia melangkah pelan-pelan agar tidak menginjak kosmetik yang menghabiskan hampir sepertiga gajinya. Di ujung kasur, ia mengambil botol minum. Meminum dua teguk air untuk membasahi kerongkongannya yang kering seperti gurun. Air it

KALEMBO ADE

Perjalanan menuju Nggembe tak pernah semulus ini. Angkutan umum yang biasanya memaksa merajai jalan dengan mesin rongsokannya tak muncul satupun. Jalanan rusak sepanjang tambak garam juga baru saja diperbaiki. Kambing-kambing duduk dengan tenang di tepi jalan, tak ada yang menyebrang sembarangan sebagaimana hakikat mereka. Agustus hampir selesai, dan musim masih kemarau. Cucian yang kujemur sore tadi hanya perlu diangin-anginkan sebentar sebelum akhirnya berjubel di keranjang setrikaan, -yang selalu penuh-. Kegiatan mencuci selalu menyenangkan di musim panas. Namun tidak dengan menyetrika, terlalu panas dan terlalu lama. Tentu saja setelah aku berhasil mencari-cari alasan untuk menumpuk pakaian kusut di dalam lemari. " Sebune, Ma ?" Seorang Ibu dengan kantung mata yang mencapai pipinya tersenyum dan berkata, " Dua riwu, anae ." Tampaknya si Ibu sudah kehabisan tempat teduh di cabang Donggo. Ia dan lapak kecilnya bertengger di jalan yang berdebu dan bermandik

SEMUT-SEMUT HITAM DI DINDING DAPUR

Setiap manusia saling terhubung, suka maupun tidak suka. Setiap manusia akan memiliki arti keberadaannya, penting maupun tipis bak udara. Setiap manusia selalu ... Barisan semut di dinding dapur semakin rapat. Memilin rantai hitam tipis pada tembok berwarna biru. Secara teratur datang lalu pergi setelah membawa secuil kue tart yang teronggok begitu saja di wastafel. Icing  kue menodai dinding tembok, permukaan meja dan mengenai lantai. Hingga akhirnya, memunculkan perkumpulan baru dari semut-semut hitam yang bersarang entah di bagian mana rumah ini. Vibrato rapuh Taylor Swift menggema di ruang utama. Kata demi kata dari 'White Horse' memenuhi udara di ruang yang tak seberapa besarnya itu. Memantul di nakas yang berdebu. Memantul di sofa yang berantakan. Memantul di karpet yang sudah usang. Memantul juga pada permukaan foto-foto yang menguning di dinding-dinding. Beberapa semut hitam tampaknya tersesat dan malah menjelajah permukaan lantai keramik. Warna mereka begit

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana

Me and My Significant Other, Rain, Broken Gate

Moonlight Sonata dalam mode loop  mengalun dari speaker  mobil. Kau menatap rintik hujan yang jatuh di kaca depan mobil, seolah-olah tetesan air itu lebih memilukan daripada masterpiece  Beethoven ini. Bahumu yang selalu tegap kini tampak berbeda. Tanganmu tergolek lemas di setir mobil. Sesekali kau mengetuk-ngetukkan jemarimu perlahan. Entah mengikuti tempo hujan atau instrumental biola yang kau pilih sejak awal perjalanan kita. Aku menarik napas panjang. Pintu pagar sudah terbuka lebar. Bik Iyem sudah membukanya untuk kita, sepuluh menit yang lalu, seperti yang ku pinta padanya lewat pesan pendek. Namun, Bik Iyem tampaknya salah sangka, sebab pintu terbuka terlalu lebar.  "Lusia, tolong aku. Ku mohon," akhirnya kau bersuara. Suara baritonmua yang gagah kini selemah anak kucing. Aku menunduk, menatap Levis abu-abu yang kupakai. Ah, warna matamu juga abu-abu. Aku mengalihkan pandangan ke depan. Menatap tembok rumah yang berwarna kuning, "Lebih baik," pikirku.