Moonlight Sonata dalam mode loop mengalun dari speaker mobil. Kau menatap rintik hujan yang jatuh di kaca depan mobil, seolah-olah tetesan air itu lebih memilukan daripada masterpiece Beethoven ini. Bahumu yang selalu tegap kini tampak berbeda. Tanganmu tergolek lemas di setir mobil. Sesekali kau mengetuk-ngetukkan jemarimu perlahan. Entah mengikuti tempo hujan atau instrumental biola yang kau pilih sejak awal perjalanan kita.
Aku menarik napas panjang. Pintu pagar sudah terbuka lebar. Bik Iyem sudah membukanya untuk kita, sepuluh menit yang lalu, seperti yang ku pinta padanya lewat pesan pendek. Namun, Bik Iyem tampaknya salah sangka, sebab pintu terbuka terlalu lebar.
"Lusia, tolong aku. Ku mohon," akhirnya kau bersuara. Suara baritonmua yang gagah kini selemah anak kucing. Aku menunduk, menatap Levis abu-abu yang kupakai. Ah, warna matamu juga abu-abu. Aku mengalihkan pandangan ke depan. Menatap tembok rumah yang berwarna kuning, "Lebih baik," pikirku.
"Lusia... Apa kau benar-benar akan meninggalkanku? Tidak bisakah aku mendapatkan kesempatan kedua? Aku berjanji ..."
Aku menghela napas panjang. Sayangnya, mataku malah menjadi hangat. Teganya kau meminta kesempatan kedua. Aku sudah begitu percaya dan menyayangi sepenuh hatiku, sejak awal ikatan kita. Ikatan yang membuatku sama sekali tak menyangka kau akan mengujiku seperti ini.
"Jonathan," aku mendengar suaraku sendiri. Bergetar, lebih lemah dari anak kucing. Ah, kita berdua sudah kalah oleh emosi.
"Jonathan ..." sebutku lagi. Taukah kau, menyebut namamu adalah salah satu hal yang aku sukai. Namun, kesenanganku itu kini bercampur dengan rasa sakit. "Aku begitu menyayangimu. Hingga aku tak akan pernah mau meruntuhkan bayangan tentang sosokmu yang sempurna."
Aku menemukan pandangan nanar di dua bola matamu yang dalam. "Jo... percayalah padaku. Kita memang tidak bisa bersama. Aku hidup dengan berpegang pada mimpi akan keluarga yang bisa kita bangun. Dan kau, kau punya mimpi yang lain."
Kau tak menyahut.
Aku mendengar derap hujan yang begitu deras. Masih mendengar Moonlight in Sonata. Kau tahu aku bukan penggila Beethoven, tapi aku juga tau kau tak begitu suka Tchaikovsky. Jadi aku tak pernah memutar Waltz of Flower saat bersamamu. Untuk masalah itu, aku masih rela. Aku bisa menutup kupingku. Atau belajar menyukai Beethoven agar tak terkantuk-kantuk saat mendengar gubahannya.
Aku menatap pengharum mobil. Aroma pine. Aku menggunakan aroma yang sama untuk pengharum toilet. Tapi tak apa, aku bisa mengganti pengharum kamar mandiku agar hidungku tak protes setiap kali pergi bersamamu.
Selama ini, setiap kali aku menyerah akan hal-hal kecil demi dirimu, semuanya akan berakhir manis. Meskipun kita tak punya selera yang sama terhadap makanan, film, buku, tempat jalan-jalan, kau selama ini selalu menjadi tempat favoritku untuk bersandar. Setidaknya aku bisa merasakan kau selalu ada untukku. Karena itu aku berusaha untuk selalu ada untukmu, my significant other. Aku mulai percaya kalau kita berbagai kehidupan masa lalu yang sama, hingga tak bisa terpisahkan.
Kau menunduk. Jelas, aku melihat kristal bening mengalir dari kedua bola matamu. Kau terisak perlahan. "Lusia... Aku benar-benar menyayangimu," sebutmu lirih.
"Maafkan aku, Jo..." ujarku. Tak tahan melihat pria yang kusayangi terisak diantara hujan dan alunan Moonlight of Sonata.
Aku berlari menembus hujan. Berlari melewati pagar. Membiarkan seluruh kenangan kita diluruh hujan. Sayup-sayup aku mendengar isak tangismu. Hingga aku sadar bahwa akulah yang terisak.
Komentar
Posting Komentar