Dingin. Gerimis. Gelap. Jalanan yang berlubang. Perut yang kelaparan.
Pintu kulkas terbuka seperti pintu masuk minimarket di malam minggu. Sebentar-sebentar lampunya menyala sebelum mati untuk sebentar saja. Benda kotak setinggi satu meter itu jadi kotak pendingin tak berguna. Selain karena listrik yang padam semenjak tiga jam yang lalu, juga karena ia hanya berisi sirup markisa dan terasi udang merk tiga abjad. Ah, oh ada juga bumbu nasi goreng.
Aku menggeliat-geliat di kasur, di bawah selimut merah muda. Mengeluh, merutuk kebodohan sendiri karena selalu lupa beli makan malam sepulang dari kantor. Kan kalau sudah malam gelap gulita begini, aku hanya jadi perempuan pengecut dengan segala kenegatifan di pikirannya. Terlampau takut dan malas untuk keluar mencari makan. Lebih memilih untuk menikmati lapar daripada menyalakan motor dan mencari warung yang buka.
Bekerja jauh dari pusat kota memang memaksaku untuk hidup disiplin. Warung-warung makan yang tak pernah buka lebih dari jam sembilan malam. Jalanan yang mulai menyeramkan begitu adzan magrib berkumandang. Permukaan aspal yang tak pernah mulus. Sinyal yang datang dan pergi bagaikan kenangan. Minimnya pekerjaan yang tersangkut paut dengan jasa. Semuanya mendikteku untuk hidup disiplin jika ingin bertahan hidup, sebagai manusia yang sehat, di tempat ini. Sekali saja bermanja-manja dengan diri sendiri, akan menimbulkan kesulitan-kesulitan di kemudian hari.
Ya, seharusnya disiplin, tapi pikiranku tak semudah itu menyerah pada keadaan. Pola pikir yang masih manja sebab empat tahun di ibukota negara dimana aku bisa dapat makanan layak dekat kosan pada jam dua pagi sekalipun masih membuatku terlena. Setiap menatap isi kulkas yang kosong, aku meratapi ketiadaan jasa pesan antar makanan disini, ketiadaan jasa pesan antar air galon, mahalnya gas elpiji, hobi Perusahaan Listrik Negara mengadakan pemadaman bergilir yang entah mengapa tak pernah melupakan jalur listrik di tempat tinggalku. Semuanya membuatku merutuk, mengutuk tidak jelas, sambil sesekali memperbaiki posisi selimut karena dingin.
Aku mengambil handphone.
“Bagaimana kalau aku menikah saja?”
“Lemah kamu. Itu namanya kamu lagi butuh asisten rumah tangga, bukan suami.”
“Ya, sekalian toh. Sekalian dijagain, diurusin.”
“Menikah itu bukan buat mengatasi masalah hidupmu saja, tapi harus siap juga menghadapi masalah suamimu. Bisa-bisa kamu frustasi kalau menemukan masalah di kehidupan pernikahanmu. Mau jadi janda muda?”
“Hidupmu kayaknya enggak banyak masalah. Mau kan keluar belikan aku makanan malam-malam?”
“Enak aja. Aku mau nyari istri yang rajin masak. Jadi kalau mati lampu begini, aku enggak perlu susah payah keluar malam. Tinggal makan.”
“Itu namanya kamu nyari tukang masak, bukan istri.”
Aku mendengar tawanya yang renyah di ujung telpon. Beberapa saat sebelum panggilan terputus karena sinyal yang tiba-tiba pergi. Memaksa kami untuk tetap waras di kehidupan serba mandiri. Entah sampai kapan hidup sendiri.
Rabakodo, 20 Januari 2019
Sumber gambar : https://weheartit.com/
Komentar
Posting Komentar