Langsung ke konten utama

SEMUT-SEMUT HITAM DI DINDING DAPUR



Setiap manusia saling terhubung, suka maupun tidak suka. Setiap manusia akan memiliki arti keberadaannya, penting maupun tipis bak udara. Setiap manusia selalu ...

Barisan semut di dinding dapur semakin rapat. Memilin rantai hitam tipis pada tembok berwarna biru. Secara teratur datang lalu pergi setelah membawa secuil kue tart yang teronggok begitu saja di wastafel. Icing kue menodai dinding tembok, permukaan meja dan mengenai lantai. Hingga akhirnya, memunculkan perkumpulan baru dari semut-semut hitam yang bersarang entah di bagian mana rumah ini.

Vibrato rapuh Taylor Swift menggema di ruang utama. Kata demi kata dari 'White Horse' memenuhi udara di ruang yang tak seberapa besarnya itu. Memantul di nakas yang berdebu. Memantul di sofa yang berantakan. Memantul di karpet yang sudah usang. Memantul juga pada permukaan foto-foto yang menguning di dinding-dinding. Beberapa semut hitam tampaknya tersesat dan malah menjelajah permukaan lantai keramik. Warna mereka begitu kontras dengan keramik putih gading.

Di luar rumah, hujan turun dengan derasnya. Menampar tanah. Menghempas dedaunan. Mengetuk-ngetuk jendela. Tanpa perasaan, butiran-butiran air itu terus menerus menerjang segala permukaan, meresap di segala pori-pori dan menghembuskan dingin pada setiap jiwa. Tak peduli pada seseorang yang telah mematung di luar pintu. Tangannya tak lagi gemetaran setelah beribu tetes hujan membasahi pakaiannya. Hanya bibirnya membiru yang menunjukkan bahwa hujan perlahan-lahan mulai menang. Ia terus menunduk, mengharapkan sepasang lengan yang biasa merangkulnya datang dan membawakan kehangatan.

Pintu rumah masih saja terkunci. Lagu 'White Horse' telah berganti menjadi 'Back to December'. Lebih keras. Bar demi bar musik meredam kepedihan dengan kata-kata yang lebih pedih. Namun tak cukup keras untuk meredam tangis yang sudah ditahan-tahan mata yang memerah. Setiap isak adalah petunjuk bahwa perasaan tengah diperkarakan. 

Tebal pintu tak seberapa, namun jarak di antara mereka adalah sesuatu yang tengah tak bisa dihancurkan. Keduanya berharap untuk sama-sama dipeluk, namun keduanya telah mengimani secara membabi buta bahwa hal itu sama saja dengan meminum khamr, -hanya memberikan kesenangan sesaat-. Maka terdiamlah mereka, mematung dan membatu.

Hujan masih saja turun, tetap deras. Musik masih berputar bersama suara khas penyanyi kenamaan Amerika. Mereka berdua masih duduk, sama-sama mengingkari hati dan eksistensi rasa. Semut-semut hitam masih berbaris. Terus berjalan bersama kue yang telah hancur namun tetap manis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...