Langsung ke konten utama

KALEMBO ADE

Perjalanan menuju Nggembe tak pernah semulus ini. Angkutan umum yang biasanya memaksa merajai jalan dengan mesin rongsokannya tak muncul satupun. Jalanan rusak sepanjang tambak garam juga baru saja diperbaiki. Kambing-kambing duduk dengan tenang di tepi jalan, tak ada yang menyebrang sembarangan sebagaimana hakikat mereka.

Agustus hampir selesai, dan musim masih kemarau. Cucian yang kujemur sore tadi hanya perlu diangin-anginkan sebentar sebelum akhirnya berjubel di keranjang setrikaan, -yang selalu penuh-. Kegiatan mencuci selalu menyenangkan di musim panas. Namun tidak dengan menyetrika, terlalu panas dan terlalu lama. Tentu saja setelah aku berhasil mencari-cari alasan untuk menumpuk pakaian kusut di dalam lemari.

"Sebune, Ma?"

Seorang Ibu dengan kantung mata yang mencapai pipinya tersenyum dan berkata, "Dua riwu, anae." Tampaknya si Ibu sudah kehabisan tempat teduh di cabang Donggo. Ia dan lapak kecilnya bertengger di jalan yang berdebu dan bermandikan sinar matahari jam lima sore. Aku merogoh kantung celana. Seingatku masih ada sisa uang paska membeli nasi padang untuk makan siang tadi. Beberapa lembar uang ribuan, dan aku menerima 8 potong kue Range, -kesukaan Uma-.

"Ma, minum yang banyak ya. Nono mboto," ucapku sebelum melanjutkan perjalanan. Kantung matanya mengingatkanku pada kasus dehidrasi parah seseorang yang sangat kukenal. Dehidrasi yang bermuara pada berbagai macam penyakit-penyakit aneh.

Aroma debu yang kering memenuhi jalan, sebelum aroma amis seafood mengepung hidung. Pasar sore yang selalu ramai. Aku berhenti lagi dan membeli dua basi kerang dara. Ada segepok asam dan seikat kecil kemangi di kulkas. Semangkuk sup asam kerang akan sempurna bersama malam yang tampaknya akan panas -lagi dan lagi-.

Aku kembali melanjutkan perjalanan. Ke arah barat dan melewati perkumpulan kebun-kebun bambu. Uma bilang itu akan menjadi tanahku di masa depan. Tapi aku sendiri masih belum punya bayangan akan kuapakan kebun bambu berhektar-hektar itu. Apa aku jadi pengusaha bambu saja ya? Sebab membangun hunian di tengah-tengah kebun bambu yang dikelilingi ladang tampaknya terlalu beresiko. Biar sajalah. Aku masih belum mau berpusing-pusing dengan urusan tanah.

Roda motorku terus berputar, kurang stabil karena kurang angin. Aku berencana memompanya besok pagi di bengkel langgananku, sekalian mengganti oli. Uma menyebut-nyebut kalau motor adalah salah satu penjaga nyawaku, maka aku harus merawatnya baik-baik. Seringkali pemahamanku itu menimbulkan paradoks. Bukankah Tuhan telah menentukan usia dari setiap hamba-Nya? Walaupun aku pakai motor baru, kalau sudah waktunya tutup usia, apa yang bisa menghalangi? Hal-hal itu membuatku berpikir sejauh mana manusia harus mendorong ikhtiarnya agar tidak menjadi sia-sia. Bukankah lucu jika manusia terlalu congkak dan menganggap segalanya bisa diatur, salah satunya menghindari kematian. Padahal, tak selamanya kematian adalah hal yang tidak menyenangkan, meskipun seringkali dipersepsikan demikian.

Kenapa Tuhan menciptakan kehidupan saat pada akhirnya semua akan berpulang? "Semua hal didunia ini harus ada lawannya untuk bisa mencapai eksistensi diri," kata dosenku, beberapa bulan yang lalu. Jika tidak ada benci, maka tidak akan ada rasa cinta. Jika tidak ada kematian, maka tidak akan ada kehidupan. Begitulah kira-kira. Betapa lemah, bahkan untuk bisa 'ada' pun, semua hal ternyata harus bergantung pada lawannya. Bukankah lawan biasanya meniadakan? Ketika kenyang, bukankah karena tiada lapar? Lalu peran mana yang lebih besar bagi lawan? Perannya sebagai pembentuk eksistensi atau penghapus keberadaan?

Aku tertawa pelan, geli dengan pemikiranku sendiri. Tak hanya roda motor yang berputar. Pikiranku juga berputar, tanpa arah. Mungkin ke rumah Uma, mungkin juga tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...