Ia terbangun karena sesak napas.
Rasanya seperti seluruh udara dicabut dari paru-parunya. Tersedak, ia
cepat-cepat bangun dari kasur. Mengangkat kepalanya dari bantal. Namun, itu
membuat kepalanya terasa seperti mau meledak karena memaksa diri untuk bangun
sebelum kesadarannya sepenuhnya terjaga.
Matanya menatap seisi kamar.
Gelap. Sebelum tidur tadi ia mematikan lampu. Lalu ia meraba-raba kasur dengan
tangan dan kakinya, mencari kacamata. Tak ia temukan, ia memutuskan untuk
bangun dan mencari saklar lampu.
Begitu lampu menyala, ia kembali
ke kenyataan. Kamarnya masih saja berantakan. Kabel dimana-mana. Cucian yang
belum dilipat tergeletak di lantai. Pouch
make-up nya ada di rak buku, kosong. Sementara isinya tersebar dimana-mana,
di lantai. Ia melangkah pelan-pelan agar tidak menginjak kosmetik yang
menghabiskan hampir sepertiga gajinya. Di ujung kasur, ia mengambil botol
minum. Meminum dua teguk air untuk membasahi kerongkongannya yang kering
seperti gurun. Air itu tak lagi terasa segar. Ia mengernyit, ini air kapan ya? Yang
pasti ia harus segera keluar untuk membeli air.
Sakit kepalanya datang lagi,
bersama dengan rasa sesak yang ada di dadanya. Ia mendudukkan diri di ujung
kasur. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi tadi. Peluh membanjiri dahi
dan lehernya, turun ke punggung dan perutnya. Ia bisa membaui aroma badannya
sendiri. Jorok, pikirnya.
Ponselnya bergetar singkat. Dari
layar, ia bisa membaca nama ‘Susi’ disana. Ia sedang malas untuk menjelaskan
semuanya. Maka ia lebih memilih untuk berjalan ke kamar mandi ketimbang
membalas pesan dari teman sebelah kosnya.
“Sial!” umpatnya.
Ia sudah telanjang di kamar
mandi, namun air tak mau keluar dari keran. Ia mengaduk-ngaduk sisa air dari
ember. Keruh. Ia jijik, namun ia tak tahan dengan keringat yang membuat
badannya lengket. Ia mandi sambil berdoa. Berdoa agar sabun yang ia pakai bisa
membunuh kuman-kuman yang ada di air keruh itu.
Ia keluar kamar mandi dengan
perasaan tak segar. Air keruh dan sedikit itu tak bisa ia pakai untuk sikat
gigi dan keramas. Yang penting keringatnya hilang, pikirnya. Ponselnya bergetar
lagi. Ia melirik sekilas. Pesan dari atasannya. “Sial!” umpatnya lagi. Ia lupa
memesan tiket pesawat.
Terburu-buru, ia membuka laptop.
Mengetikkan alamat penyedia jasa pemesanan tiket pesawat online. Memasukkan
identitas diri, tanggal, lalu memilih maskapai termurah. Tak sampai lima menit,
selesai. Lalu ia menuliskan pesan balasan, “Siap, Bos. Sudah saya pesan,”
tulisnya.
“Kamu dimana? Kamu nggak
kenapa-kenapa kan?”
“Tadi Ian telpon aku. Dia nyariin
kamu.”
“Kamu pergi kemana? Kok lampu
depanmu mati?”
Ia tertawa sinis. Ia hanya
ketiduran saat menonton film di laptop. Namun temannya bertingkah seolah-olah
ia adalah pasien depresi yang perlu diawasi setiap saat. Ia tak juga membalas
pesan-pesan itu. Biarkan saja, berisik.
...
“Kamu kemana dua hari kemarin?
Kenapa telponku nggak diangkat? Susi
bilang kamu juga tidak keluar kosan.”
Ia meletakkan cangkir kopinya di
atas meja. Harusnya ia pesan iced
americano saja tadi, latte ini terlalu manis untuk lidahnya. Seperti pria
di hadapannya.
“Aku tidak kemana-mana. Aku hanya
ingin sendiri kemarin,” ucapnya, datar.
“Tapi kenapa kamu nggak kasih kabar? Aku khawatir.”
Ia tertawa pelan. “Aku nggak kenapa-kenapa. Kabar apa yang
perlu ku beri ke kalian? Aku masih hidup, tidak ada yang berubah. Kalian
terlalu parno.”
Pria itu terdiam. Namun matanya
tidak juga berkedip. Ia merasa tengah diinspeksi hingga ke tulang-tulang. Ia
tertawa lagi, “Kamu nggak percaya? Ya sudah.” Tangannya meraih lagi
cangkir kopinya. Akan tetapi setelah mengingat rasanya, ia urung dan membawa
kembali tangannya ke atas pangkuannya.
“Kamu mau pindah tempat kerja?
Aku bisa memindahkanmu ke cabang yang di Jakarta. Supaya kamu nggak merasakan ...”
“Ian. Aku tidak mau pindah dengan
cara seperti itu. Kita sudah membahas ini berkali-kali,” suaranya menjadi dingin.
Ian berhenti berbicara. Lalu ia
mengacak-acak rambutnya, “Kamu ini kenapa, sih?
Ditawarkan pindah nggak mau.
Ditawarkan naik jabatan nggak mau.
Diajak nikah juga nggak mau. Sampai
kapan kita mau begini terus?”
Ia menghela napas panjang. “Ian,
kamu percaya padaku, kan? Kalau kamu percaya, beri aku waktu. Aku masih ingin
sendiri. Kalau kamu tidak percaya, aku tidak melarangmu untuk menikah, Ian.”
...
“Terimakasih.” Suara mesin absen
menggema di ruang staf yang sudah sepi, tiga menit sebelum hari berganti.
Ia memasang kaos kaki lalu
memakai sepatu ketsnya yang sudah berubah warna. Mencuci sepatu, sudah ia
masukkan ke dalam agendanya besok. Kalau ia tidak bad mood. Ia mengecek mejanya, memastikan tidak ada barang yang
tertinggal. Lalu ia berjalan ke luar ruangan. Menenteng tas kotak makannya yang
masih berat, tak tersentuh dari pagi tadi.
Setelah menyapa penjaga kantor,
ia berjalan menuju parkiran. Malam ini juga panas seperti malam-malam lainnya.
Ia berdoa semoga air tidak mati. Ia sudah menguras ember pagi tadi, namun tak
sempat mengisi airnya karena sudah terlambat ke kantor.
Handphonenya bergetar. Sebuah
foto muncul di layar ponselnya.
“Kamu sedang apa? Jeju sedang
cerah hari ini. Aku dan Ian ke taman bunga canola hari ini.”
Ponselnya bergetar lagi, “Pelacur”,
muncul di layar ponsel, memanggilnya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia
tak melihat pesan, “Kamu dimana? Kamu sudah pulang dari kantor, kan? Aku dan
Ian mengkhawatirkanmu. Tolong angkat telponnya. Aku ingin bertanya kamu mau
dibelikan oleh-oleh apa.” Ponselnya bergetar lagi, namun ia tak peduli dan
lebih memilih memakai helmnya. Layar ponselnya menyala, menunjukkan sebaris
pesan singkat, “Kamu dimana? Susi dari tadi berisik ingin membelikanmu
oleh-oleh. Kamu mau apa?”
Ia menyalakan mesin motor,
membawanya keluar kantor. Terus membelah kegelapan. Sementara itu, ponselnya
bergetar lagi. Tanpa perlu ia buka, ia sudah paham betul itu dari siapa. Dan ia
sedang ingin sendiri, seperti yang sudah-sudah. Ia terus memacu motornya di
tengah malam, entah kemana.
Photo by Munir Alawi
Komentar
Posting Komentar