Langsung ke konten utama

Wanita yang Ditinggalkan Waktu : Seharusnya Menunggu




Ia terbangun karena sesak napas. Rasanya seperti seluruh udara dicabut dari paru-parunya. Tersedak, ia cepat-cepat bangun dari kasur. Mengangkat kepalanya dari bantal. Namun, itu membuat kepalanya terasa seperti mau meledak karena memaksa diri untuk bangun sebelum kesadarannya sepenuhnya terjaga.

Matanya menatap seisi kamar. Gelap. Sebelum tidur tadi ia mematikan lampu. Lalu ia meraba-raba kasur dengan tangan dan kakinya, mencari kacamata. Tak ia temukan, ia memutuskan untuk bangun dan mencari saklar lampu.


Begitu lampu menyala, ia kembali ke kenyataan. Kamarnya masih saja berantakan. Kabel dimana-mana. Cucian yang belum dilipat tergeletak di lantai. Pouch make-up nya ada di rak buku, kosong. Sementara isinya tersebar dimana-mana, di lantai. Ia melangkah pelan-pelan agar tidak menginjak kosmetik yang menghabiskan hampir sepertiga gajinya. Di ujung kasur, ia mengambil botol minum. Meminum dua teguk air untuk membasahi kerongkongannya yang kering seperti gurun. Air itu tak lagi terasa segar. Ia mengernyit, ini air kapan ya? Yang pasti ia harus segera keluar untuk membeli air.
Sakit kepalanya datang lagi, bersama dengan rasa sesak yang ada di dadanya. Ia mendudukkan diri di ujung kasur. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi tadi. Peluh membanjiri dahi dan lehernya, turun ke punggung dan perutnya. Ia bisa membaui aroma badannya sendiri. Jorok, pikirnya.

Ponselnya bergetar singkat. Dari layar, ia bisa membaca nama ‘Susi’ disana. Ia sedang malas untuk menjelaskan semuanya. Maka ia lebih memilih untuk berjalan ke kamar mandi ketimbang membalas pesan dari teman sebelah kosnya.

“Sial!” umpatnya.

Ia sudah telanjang di kamar mandi, namun air tak mau keluar dari keran. Ia mengaduk-ngaduk sisa air dari ember. Keruh. Ia jijik, namun ia tak tahan dengan keringat yang membuat badannya lengket. Ia mandi sambil berdoa. Berdoa agar sabun yang ia pakai bisa membunuh kuman-kuman yang ada di air keruh itu.

Ia keluar kamar mandi dengan perasaan tak segar. Air keruh dan sedikit itu tak bisa ia pakai untuk sikat gigi dan keramas. Yang penting keringatnya hilang, pikirnya. Ponselnya bergetar lagi. Ia melirik sekilas. Pesan dari atasannya. “Sial!” umpatnya lagi. Ia lupa memesan tiket pesawat.

Terburu-buru, ia membuka laptop. Mengetikkan alamat penyedia jasa pemesanan tiket pesawat online. Memasukkan identitas diri, tanggal, lalu memilih maskapai termurah. Tak sampai lima menit, selesai. Lalu ia menuliskan pesan balasan, “Siap, Bos. Sudah saya pesan,” tulisnya.

“Kamu dimana? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?”

“Tadi Ian telpon aku. Dia nyariin kamu.”

“Kamu pergi kemana? Kok lampu depanmu mati?”

Ia tertawa sinis. Ia hanya ketiduran saat menonton film di laptop. Namun temannya bertingkah seolah-olah ia adalah pasien depresi yang perlu diawasi setiap saat. Ia tak juga membalas pesan-pesan itu. Biarkan saja, berisik.

...

“Kamu kemana dua hari kemarin? Kenapa telponku nggak diangkat? Susi bilang kamu juga tidak keluar kosan.”

Ia meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Harusnya ia pesan iced americano saja tadi, latte ini terlalu manis untuk lidahnya. Seperti pria di hadapannya.

“Aku tidak kemana-mana. Aku hanya ingin sendiri kemarin,” ucapnya, datar.

“Tapi kenapa kamu nggak kasih kabar? Aku khawatir.”

Ia tertawa pelan. “Aku nggak kenapa-kenapa. Kabar apa yang perlu ku beri ke kalian? Aku masih hidup, tidak ada yang berubah. Kalian terlalu parno.”

Pria itu terdiam. Namun matanya tidak juga berkedip. Ia merasa tengah diinspeksi hingga ke tulang-tulang. Ia tertawa lagi, “Kamu nggak  percaya? Ya sudah.” Tangannya meraih lagi cangkir kopinya. Akan tetapi setelah mengingat rasanya, ia urung dan membawa kembali tangannya ke atas pangkuannya.

“Kamu mau pindah tempat kerja? Aku bisa memindahkanmu ke cabang yang di Jakarta. Supaya kamu nggak merasakan ...”

“Ian. Aku tidak mau pindah dengan cara seperti itu. Kita sudah membahas ini berkali-kali,” suaranya menjadi dingin.

Ian berhenti berbicara. Lalu ia mengacak-acak rambutnya, “Kamu ini kenapa, sih? Ditawarkan pindah nggak mau. Ditawarkan naik jabatan nggak mau. Diajak nikah juga nggak mau. Sampai kapan kita mau begini terus?”

Ia menghela napas panjang. “Ian, kamu percaya padaku, kan? Kalau kamu percaya, beri aku waktu. Aku masih ingin sendiri. Kalau kamu tidak percaya, aku tidak melarangmu untuk menikah, Ian.”

...

“Terimakasih.” Suara mesin absen menggema di ruang staf yang sudah sepi, tiga menit sebelum hari berganti.

Ia memasang kaos kaki lalu memakai sepatu ketsnya yang sudah berubah warna. Mencuci sepatu, sudah ia masukkan ke dalam agendanya besok. Kalau ia tidak bad mood. Ia mengecek mejanya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Lalu ia berjalan ke luar ruangan. Menenteng tas kotak makannya yang masih berat, tak tersentuh dari pagi tadi.

Setelah menyapa penjaga kantor, ia berjalan menuju parkiran. Malam ini juga panas seperti malam-malam lainnya. Ia berdoa semoga air tidak mati. Ia sudah menguras ember pagi tadi, namun tak sempat mengisi airnya karena sudah terlambat ke kantor.

Handphonenya bergetar. Sebuah foto muncul di layar ponselnya.

“Kamu sedang apa? Jeju sedang cerah hari ini. Aku dan Ian ke taman bunga canola hari ini.”

Ponselnya bergetar lagi, “Pelacur”, muncul di layar ponsel, memanggilnya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia tak melihat pesan, “Kamu dimana? Kamu sudah pulang dari kantor, kan? Aku dan Ian mengkhawatirkanmu. Tolong angkat telponnya. Aku ingin bertanya kamu mau dibelikan oleh-oleh apa.” Ponselnya bergetar lagi, namun ia tak peduli dan lebih memilih memakai helmnya. Layar ponselnya menyala, menunjukkan sebaris pesan singkat, “Kamu dimana? Susi dari tadi berisik ingin membelikanmu oleh-oleh. Kamu mau apa?”

Ia menyalakan mesin motor, membawanya keluar kantor. Terus membelah kegelapan. Sementara itu, ponselnya bergetar lagi. Tanpa perlu ia buka, ia sudah paham betul itu dari siapa. Dan ia sedang ingin sendiri, seperti yang sudah-sudah. Ia terus memacu motornya di tengah malam, entah kemana.



Photo by Munir Alawi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...