Langsung ke konten utama

Jangan Siksa


I am not the owner of this photo. I took it from google.
Thanks for reading.

Undu terenyuh menatap badan anak yang terbaring di hadapannya. Berapa banyak luka yang dilalui anak itu sebelum sampai kesini? Lebam, bengkak, sayatan, lepuh, semua bentuk luka itu kontras dengan kulitnya yang putih.

Anak itu meringis saat Undu membasuh badannya dengan air hangat. Namun, rasa letih tampaknya tengah menguasainya, karena matanya tetap saja tertutup. Badannya yang ringkih membuat Undu seperti membersihkan selapis tipis kulit yang siap robek kapan saja. 

Dikatakan, Tuhan telah memperhitungkan segalanya. Bahkan sehelai rambut pun tak akan jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Semua manusia sudah ditentukan jalannya. Tinggal bagaimana cara mereka melangkah ke rengkuhan-Nya. Ya, Undu tahu itu. Semasa kecil dulu, guru mengajinya di surau selalu berkata demikian. "Allah tidak pernah pilih kasih. Semua sudah dibagi dengan adil. Manusia hanya perlu bersyukur." Masih ingat betul ia bagaimana kalimat Gurunya itu. Tapi, semakin tinggi usianya, semakin pusing ia membangun logikanya. 

"Kenapa anak ini yang dipilih untuk menahan semua lebam ini? Kenapa bukan orang jahat saja?" ia berucap sendiri.

"Atau kenapa tidak semua orang diberi titik awal yang sama? Kebahagiaan yang sama? Agar tak ada yang kecolongan. Tak ada ketimpangan. Tak ada penderitaan. Tak ada kelaparan. Tak ada luka." Undu mengambil obat merah dan kain kasa di lemari kaca. 

Anak itu meringis lagi. Tapi masih saja tertidur. "Kenapa mesti diciptakan orang-orang yang menderita? Belum habis memikirkan urusan ibadah, urusan perut sudah menghampiri. Belum selesai tasbih digulirkan, hutang sudah menjerit duluan. Semua diberi kewajiban yang sama dengan kondisi yang berbeda-beda."

"Undu, bagaimana kondisinya?" tirai tersibak sedikit. Seorang pria dengan jas putih mendekatinya.

Undu tersenyum tipis. Matanya menghangat. Napasnya sudah mulai sesak. "Aduh, kenapa kamu cengeng sekali?" pria itu tersenyum. "Tampaknya dia tertidur dengan tenang," lanjutnya lagi melihat nafas anak tersebut yang teratur. Ia melihat botol infus yang tergantung. "Kalau kondisinya stabil begini, mungkin besok pagi dia sudah butuh infus lagi."

"Kasihan... Dia hanya anak dengan keterbelakangan mental. Tak tahu apa-apa. Tapi harus terluka seperti ini, hanya karena kerakusan manusia." Undu meletakkan lagi obat merah dan sisa kasa. Sementara pria itu memperbaiki selimut yang melingkupi anak itu.

"Setidaknya luka yang dia alami menjadi cambuk bagi orang-orang yang untuk jadi peduli. Tuhan memberikan pengajaran dalam bentuk anak ini. Tak pantas bagi kita untuk bertanya-tanya kenapa." 

"...." Undu menarik nafas dalam. Menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh. "Maafkan saya, Dok." ujar Undu.

Pria itu menarik Undu ke dalam pelukannya. "Ah, jam kerja kita sudah habis. Mau makan dulu?"
"Setelah itu kita kembali lagi kesini,... Oh, mungkin kita mampir ke toko pakaian dan mainan dulu. Menurutmu, dia suka mainan apa ya?" sambung pria itu sambil saat Undu masih saja terdiam.

"Setidaknya dengan keberadaannya, orang-orang peduli seperti kamu akan semakin bertambah, Sayang..." 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...