Namanya Ape ("pe" pada pelangi).
Seorang bocah lelaki yang tingginya sedahiku.
Waktu itu matahari tengah tertawa. Cuaca yang panas, membuat hari terasa bergulir lambat. Orang-orang di pasar mulai membungkusi sisa jualan. Ibu penjual kopi mulai mencuci gelas-gelas kaca. Penjual ayam tepung mulai menggorengi potongan ayam. Bapak-bapak petugas kebersihan mulai menyapu. Pun, Mamang galon mulai bisa mengantarkan galon-galon pesanan lewat pasar yang mulai lengang.
Kala itu Ape berjalan. Langkahnya tetap sama panjang dan cepatnya, baik di tempat teduh maupun tempat panas. Tangan kanannya memegang selembar uang -dua ribuan-. Sementara tangan kirinya menggaruki segala yang gatal, kepala, lengan, hingga betis yang penuh borok. Matanya berputar kesana-kemari, sementara kakinya tetap membawanya melangkah lurus.Ape mau membeli es jeruk yang dijual dalam plastik bungkusan. Ia hapal betul kalau setelah bertemu penjual gorengan yang bertopi, ia harus berbelok ke arah kanan. Di ujung jalan akan ada kedai es jeruk yang ia cari. Ya, Ape hapal betul. Ia sudah berkali-kali ke sana. Dan tak pernah tersesat.
Tapi hari itu, kopi si Ibu kopi sedang laris. Gelas-gelas banyak sekali yang kotor. Beberapa gelas terpaksa mengambil sedikit jalan yang ada. Mamang galon harus mendorong trolinya agak ketengah. Petugas kebersihan juga sengaja tidak menyapu sisi jalan itu. Ibu kopi masih mencuci gelasnya.
"Prang!"
Dua gelas pecah! Ape menabrak tumpukan cucian bu Kopi!
"APE!" seru Ibu Kopi. "Pada pecah kan gelas gue! Jalan kok nggak lihat-lihat!"
Ape hanya tersenyum simpul. Kali ini ia menggaruk kepalanya walaupun tak gatal.
"Iii... Senyum-senyum lagi. Dasar Ape blekotok!" suara melengking yang sama masih marah-marah. Orang-orang lain ikut-ikutan meneriaki Ape. "Ape begok!" "Ape bloon!" "Nah loo, ganti sono, Pe!"
Tapi Ape tetap tersenyum simpul.
"Di rumah Ape ada gelas, lima..." jawabnya.
Ibu Kopi masih menggerutu. Orang-orang di pasar masih meneriakinya. Ape tersenyum simpul. Lalu melanjutkan langkahnya. Ape mau membeli es jeruk di ujung jalan. Meninggalkan orang-orang yang masih meneriakinya. Kakinya yang penuh borok kembali melangkah.
--------
Aku yakin semua manusia tahu kapan suatu kesalahan malah membesar karena yang lain menginginkannya. Kapan kesalahan yang tak seberapa itu dijadikan sebuah alasan untuk melahirkan sejuta cacian, makian, atau sekedar guyonan. Aku yakin semua manusia sebenarnya tahu kapan kita harus benar-benar "rehat" dalam perjalanan ke tujuan yang sudah kita hapal rutenya.
Ape bukan manusia yang sempurna. Aku bukan manusia sempurna. Kamu juga bukan manusia sempurna. Tak ada yang salah dengan menjadi salah. Siapa sih yang sempurna? Hanya Tuhan yang bisa sempurna. Daripada menyesali dua gelas yang pecah. Lebih baik terus melangkah menuju segarnya es jeruk di kedai ujung jalan.
Komentar
Posting Komentar