Langsung ke konten utama

ADOLESCENSE [1]

“Hingga akhirnya aku memahami apa makna dari firasat ini. Bersama dengan angin yang berpulang pada senja, air mataku mengering. Meninggalkan rasa garam di bibir, yang membuat semakin pedih luka di hati.Bagian yang hilang di sana, pergi bersama Bunda.” Dia membaca paragraf terakhir cerpen itu dengan suara rendahnya, lalu cokelat pupilnya menatapku. “Terimakasih ya, ceritanya bagus.”
Aku hanya bisa tersenyum tipis, amat tipis hingga mungkin ia tidak menyadarinya. “Iya.”
Pria di depanku itu menghela panjang nafasnya, lalu tersenyum canggung. “Maaf ya, sudah merepotkanmu. Kapan-kapan aku traktir ya.”
Aku hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya dia menghadapkan punggungnya ke arahku, lalu berjalan ke arah kelasnya. Meninggalkan hatiku dalam keadaan ritmenya yang kacau. Beginikah cara cinta mempermainkan hati manusia? Dengan degup-degup tak karuan dan tanpa jaminan yang dicinta merasakan hal yang sama. Ah, aku meletakkan punggung tanganku di pipi, hangat. Cinta juga bisa membuat orang menjadi lebih hangat ternyata.
“Oki! Buruan piket duluu!” suara Marin yang menggelegar di udara membuatku terkejut. Sial, aku lupa kalau hari ini dapat giliran menyapu kelas. Dan lebih sialnya lagi, berhasil membuat Marin mengumumkannya di sepanjang koridor.
Dan ah, pria itu malah berbalik. Menunjukkan wajah menyesal setengah tersenyum, -aduh ganteng banget-, sambil menggerakkan bibir mengucapkan kata maaf. Sontak saja aku segera berlari dan mengambil sapu di tangan Marin. Lebih lama lagi melihat wajahnya, hatiku bisa meledak.
---
“Sudah, cerita habis!” ujarku ceria lalu menyesap teh lemonku. Aneh, cerita usang ini masih saja menyisakan debaran tak karuan di hati.
“Loh? Setelah itu, apa yang terjadi antara mama dan pria itu?”
“Yaa, setelah itu mama menyapu kelas dan dia masuk ke kelasnya, entah apa yang dia lakukan setelah itu,” jawabku sekenanya seraya mengangkat bahu.
“Idihh, bukan itu. Maksudnya apa Mama dan dia akhirnya pacaran?” mata anak ini semakin lebar menatapku, terlihat sangat penasaran.
Aku tertawa. Pertama tertawa melihat tingkah gadisku yang penasaran akan kisah cinta picisan Mamanya. Alasan yang kedua karena romansa kunoku itu memang patut untuk ditertawakan, saking tidak jelas juntrungnya. “Tidak. Kami tidak pernah sampai pada tahap itu, sayang. Beberapa lama kemudian, Mama mendengar kabar kalau dia menyatakan cinta pada gadis di kelas sebelah.”
Minka mengerutkan alisnya, “Yah, kok jadi seperti itu. Padahal Mama sudah susah payah untuk bantu tugas sekolahnya. Berarti dia hanya pria yang memanfaatkan Mama, dong?” rutuknya, polos.
Aku tertawa lagi. “Minka ... Mama menceritakan kisah itu bukan untuk membuatmu mengata-ngatai pria itu. Maksud Mama menceritakan itu semua adalah agar kamu mengerti bahwa setiap manusia juga pernah mengalami masa-masa seperti itu. Dan dengan siapa pada akhirnya kamu menjatuhkan pilihanmu, itu bukan masalah. Toh, cinta tidak bisa memilih jatuh di hati yang mana.”
Wajah Minka masih saja terlihat kesal. “Ya, tapi. Kenapa bisa pria itu tidak memilih Mama? Apa lebihnya cewek kelas sebelah itu?”
Pasti besok pagi, wajahku akan terasa pegal karena malam ini tertawa terus. “Sudah, sudah. Daripada bahas Mama terus, sekarang kamu saja yang ceritakan siapa pengirim surat yang bernama Adimas itu.” Yah, memang banyak hal yang ternyata memang memisahkan kami. Dan itu baru kupahami bertahun-tahun setelah kisah itu terjadi, bukan hal yang harus aku ceritakan pada Minka.
Kali ini, giliran Minka yang tertawa. “Sebentar ya, Ma. Minka ke toilet dulu. Dari tadi kebelet pipis.” Lalu bangkit dan berlari ke toilet bahkan sebelum mendapatkan persetujuanku.
“Dasar, remaja.” 
[End]
Semoga Adolescense 2 bisa rampung ditulis.
Pojok penulis :
Halo. Semoga kalian semua sehat. Setelah jari dan otak ini kaku dan beku, karena tidak pernah lagi digunakan untuk menulis, cerita (yang direncanakan untuk bersambung) ini bisa dikatakan sebagai sarana latihan. Jadi mohon maaf kalau alurnya agak tidak jelas, pilihan diksinya kaku, dsb. Tapi walaupun ini sarana latihan, tetap dikerjakan sepenuh hati, kok.
Semoga kita semua selalu sehat dan tidak terjerat kemalasan. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

24 Lukisan Cinta : Hannah *4

Tiga puluh lima menit kemudian, galeri lukis itu dikepung oleh polisi. Aira terduduk lemas di kasurnya ketika mendengar suara sirine mobil polisi. Sementara itu alunan instrument Kenny G di ruan Putera masih terdengar. Nampaknya Putera benar-benar menikmati kegiatannya dan Aira mensyukuri hal itu. Kilasan-kilasan kenangan masa lalu berlarian di benak Aira. Tentang Putera dan dirinya. Kenangan-kenangan itu saling berkejar-kejaran di pikirannya. Aira mendengar pintu depan yang didobrak. Sebentar lagi polisi itu pasti sudah sampai di kamarnya. Tak beberapa lama kemudian, seorang polisi pria membuka pintu kamarnya. Aira hanya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Ia sudah pasrah, ia tak peduli apakah ia dan Putera akan dipenjara atau tidak. Ia hanya ingin Putera, kakaknya bisa kembali menjadi manusia normal. Ia sudah tak tahan lagi memiliki Kakak seorang psikopat. “Pak Polisi. Terimakasih sudah datang,” ucap Aira sambil tersenyum paksa. Kemudian jatuh pingsan karena tekanan psikis yang s...

24 Lukisan Cinta : Hannah *1

Putera menoleh sekali lagi ke arah pantai itu. Berharap ia bisa menemukan gadis bermata bulat yang sudah mencuri hatinya. Namun sia-sia. Pantai itu masih sepi di pagi buta seperti ini. Angin pantai yang dingin membuat Putra merapatkan jaketnya, ia harus segera pulang. Setelah menghembuskan nafas panjang kekecewaan, ia kembali ke hotelnya untuk berkemas-kemas. Pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta tepat jam tujuh pagi. Ia berharap bisa kembali lebih siang. Namun, pamerannya tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera dibuka. Putera mengalah pada jadwalnya yang sebagai pelukis terkenal. Ia masih harus menyelesaikan dua lukisan untuk pamerannya yang akan diadakan satu setengah bulan lagi. Sebenarnya, tujuannya ke Lombok adalah untuk mencari inspirasi. Ia tahu Lombok adalah pulau kecil dengan pesona pantainya yang luar biasa dan entah mengapa ingin sekali menggoreskan cat biru muda di atas kanvasnya. Ya, pantai. Seminggu yang lalu ia merasa rindu pada pantai. Pantai yang sebenarnya,...

Selembar Halaman

Wind Up Bird Chronicles   tergeletak di pangkuannya. Terbuka di halaman ke 397. Dia merengkuh cangkir kopi dengan kedua tanganmu. Sesekali, dihirupnya aromanya. Tapi belum juga ia minum kopinya. "Bagaimana? Sudah tau jawabannya?" tiba-tiba ia bertanya. Aku gelagapan. "Ee... bagaimana ya, Mas? Saya kaget tiba-tiba ditanya seperti itu." Ia tersenyum. Sinar bohlam yang menguning jatuh di pipinya yang terangkat saat ia tersenyum. "Pikirkan lagi, ya. Aku tunggu." Aku terdiam. Menatap hamparan gunung Malang di bawah kaki kami, ada lampu-lampu yang berkerlap-kerlip dari kota. Merasakan angin malam yang menampar-nampar wajah. Aku tersenyum perlahan. Ah, Wind Up Bird Chronicles . Sudah sekian lama semenjak aku juga meninggalkanya di halaman ke 397. Kisah tentang sumur dan kucing yang hilang itu begitu menarik, hingga aku tak berani menamatkan novelnya. Bertahun-tahun novel itu berdiri tegak di rak bukuku. Sementara aku masih berimajinasi tentang bagaimana...