“Hingga akhirnya aku memahami apa makna dari firasat ini. Bersama dengan angin yang berpulang pada senja, air mataku mengering. Meninggalkan rasa garam di bibir, yang membuat semakin pedih luka di hati.Bagian yang hilang di sana, pergi bersama Bunda.” Dia membaca paragraf terakhir cerpen itu dengan suara rendahnya, lalu cokelat pupilnya menatapku. “Terimakasih ya, ceritanya bagus.”
Aku hanya bisa tersenyum tipis, amat tipis hingga mungkin ia tidak menyadarinya. “Iya.”
Pria di depanku itu menghela panjang nafasnya, lalu tersenyum canggung. “Maaf ya, sudah merepotkanmu. Kapan-kapan aku traktir ya.”
Aku hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya dia menghadapkan punggungnya ke arahku, lalu berjalan ke arah kelasnya. Meninggalkan hatiku dalam keadaan ritmenya yang kacau. Beginikah cara cinta mempermainkan hati manusia? Dengan degup-degup tak karuan dan tanpa jaminan yang dicinta merasakan hal yang sama. Ah, aku meletakkan punggung tanganku di pipi, hangat. Cinta juga bisa membuat orang menjadi lebih hangat ternyata.
“Oki! Buruan piket duluu!” suara Marin yang menggelegar di udara membuatku terkejut. Sial, aku lupa kalau hari ini dapat giliran menyapu kelas. Dan lebih sialnya lagi, berhasil membuat Marin mengumumkannya di sepanjang koridor.
Dan ah, pria itu malah berbalik. Menunjukkan wajah menyesal setengah tersenyum, -aduh ganteng banget-, sambil menggerakkan bibir mengucapkan kata maaf. Sontak saja aku segera berlari dan mengambil sapu di tangan Marin. Lebih lama lagi melihat wajahnya, hatiku bisa meledak.
---
“Sudah, cerita habis!” ujarku ceria lalu menyesap teh lemonku. Aneh, cerita usang ini masih saja menyisakan debaran tak karuan di hati.
“Loh? Setelah itu, apa yang terjadi antara mama dan pria itu?”
“Yaa, setelah itu mama menyapu kelas dan dia masuk ke kelasnya, entah apa yang dia lakukan setelah itu,” jawabku sekenanya seraya mengangkat bahu.
“Idihh, bukan itu. Maksudnya apa Mama dan dia akhirnya pacaran?” mata anak ini semakin lebar menatapku, terlihat sangat penasaran.
Aku tertawa. Pertama tertawa melihat tingkah gadisku yang penasaran akan kisah cinta picisan Mamanya. Alasan yang kedua karena romansa kunoku itu memang patut untuk ditertawakan, saking tidak jelas juntrungnya. “Tidak. Kami tidak pernah sampai pada tahap itu, sayang. Beberapa lama kemudian, Mama mendengar kabar kalau dia menyatakan cinta pada gadis di kelas sebelah.”
Minka mengerutkan alisnya, “Yah, kok jadi seperti itu. Padahal Mama sudah susah payah untuk bantu tugas sekolahnya. Berarti dia hanya pria yang memanfaatkan Mama, dong?” rutuknya, polos.
Aku tertawa lagi. “Minka ... Mama menceritakan kisah itu bukan untuk membuatmu mengata-ngatai pria itu. Maksud Mama menceritakan itu semua adalah agar kamu mengerti bahwa setiap manusia juga pernah mengalami masa-masa seperti itu. Dan dengan siapa pada akhirnya kamu menjatuhkan pilihanmu, itu bukan masalah. Toh, cinta tidak bisa memilih jatuh di hati yang mana.”
Wajah Minka masih saja terlihat kesal. “Ya, tapi. Kenapa bisa pria itu tidak memilih Mama? Apa lebihnya cewek kelas sebelah itu?”
Pasti besok pagi, wajahku akan terasa pegal karena malam ini tertawa terus. “Sudah, sudah. Daripada bahas Mama terus, sekarang kamu saja yang ceritakan siapa pengirim surat yang bernama Adimas itu.” Yah, memang banyak hal yang ternyata memang memisahkan kami. Dan itu baru kupahami bertahun-tahun setelah kisah itu terjadi, bukan hal yang harus aku ceritakan pada Minka.
Kali ini, giliran Minka yang tertawa. “Sebentar ya, Ma. Minka ke toilet dulu. Dari tadi kebelet pipis.” Lalu bangkit dan berlari ke toilet bahkan sebelum mendapatkan persetujuanku.
“Dasar, remaja.”
[End]
Semoga Adolescense 2 bisa rampung ditulis.
Pojok penulis :
Halo. Semoga kalian semua sehat. Setelah jari dan otak ini kaku dan beku, karena tidak pernah lagi digunakan untuk menulis, cerita (yang direncanakan untuk bersambung) ini bisa dikatakan sebagai sarana latihan. Jadi mohon maaf kalau alurnya agak tidak jelas, pilihan diksinya kaku, dsb. Tapi walaupun ini sarana latihan, tetap dikerjakan sepenuh hati, kok.
Semoga kita semua selalu sehat dan tidak terjerat kemalasan. Amin.
Komentar
Posting Komentar