“Mainnya lagi seru, nih. Kenapa nggak bawa payung, sih?”
Dinan menghela napasnya. “Ngerti artinya lupa, nggak? Kalau kamu nggak datang bawa payung, aku terpaksa diam di sini sampai hujan
reda. Padahal Mas-masnya sudah mulai bersih-bersih.”
“...”
“Arka?”
“Mm... Iya. Apa tadi?”
Kalau saja, Arka ada di depannya. Sudah pasti Dinan akan
mencakar-cakar muka pria songong itu.
Dinan baru saja hendak menumpahkan sebatalion kekesalan saat suara bass Arka terdengar, “I’ll be there.” Sambungan terputus.
Hujan yang semula hanya berupa gerimis, menderas semenjak tiga
puluh menit yang lalu. Dinan yang duduk di sebelah jendela melihat dengan jelas
bagaimana butiran hujan melesat dan membentur segala permukaan. Beberapa orang
berpayung keluar dari resto cepat saji ini, atau berlari ke arah kendaraan
mereka. Dan orang-orang lain yang tak berpayung pun membawa kendaraan pribadi
terdiam di sini. Berharap hujan reda secepatnya sebelum restoran ini
benar-benar tutup.
Dinan melepas ikat rambutnya. Membiarkan surai hitam legam
itu turun menutupi lehernya yang kedinginan. Ia merutuk kepikunannya seraya
memasukkan notebook dalam tasnya. Ia berharap Arka tak mampir-mampir dulu.
Badannya sudah kedinginan dan ia masih harus menyelesaikan beberapa proposal
untuk diedit. Ia menatap jam tangannya. Masih ada sekitar 8 jam sebelum kuis
teori statistika dan ia masih perlu mempelajari satu bab lagi. Dinan
meniup-niup tangannya yang juga ikut-ikutan terasa dingin. Dimana gerangan Arka
berada? Dinan melongok di jendela, siapa tahu Arka sudah sampai.
“Yo.”
Dinan terlonjak kaget saat merasakan sensasi dingin di pipi
kirinya. Ia tersenyum lega saat mendapati Arka yang sudah duduk di depannya
dengan segelas coke di tangan kanan.
Lingkaran hitam di mata pria itu tampak lebih jelas dibandingkan hari-hari
sebelumnya. “Project?” tanya Dinan.
“Ho oh.” Jawab Arka sambil mengangguk. “Game RPG baru. Seratus level.” Pria itu melepaskan jaketnya. “Jangan
sampai sakit.” Ia menyodorkan jaket biru dongker itu pada Dinan. Membiarkan
tubuh mungil Dinan tenggelam dalam jaketnya yang besar.
Dinan menatap Arka lekat-lekat. Sementara yang ditatap acuh
tak acuh, asyik dengan minumannya.
“Ka,...”
“Ka,...”
Arka mengangkat alisnya.
“Minggu depan UTS.”
Arka terbatuk. “Rese’
! Aku juga tau.”
“Yaa, apa kamu nggak
bisa cuti gitu? Seratus level itu banyak sekali.”
Arka terkekeh. Mahasiswa yang bekerja part time sebagai beta player
itu menghabiskan cokenya yang
berukuran kecil. “Tenang. Aku sudah biasa, kok. Kamu nggak perlu khawatir. Lebih baik sekarang kita pulang. Sudah
setengah dua.”
“Aku tahu. Aku tahu.” Jawab Dinan. Dengan malas bangkit dari
kursinya. Mengambil tasnya. “Kamu bawa dua payung kan?” Dari jendela, Dinan melihat
hujan tak juga mereda.
“Nggak. Payung
yang satu lagi dipinjam Milai.”
“Loh? Kapan?”
“Kemarin. Waktu kerja kelompok.”
“Hoo...” timpal Dinan. Matanya yang bundar ia picingkan,
menatap tajam ke arah Arka.
“Teman, kok. Teman.” Arka berjalan mendahului Dinan. Setelah
sebelumnya mengambil tas Dinan untuk disampirkan di bahunya yang bidang.
“Hujannya deras loh, Ka. Payung kecil begitu mana muat?”
Arka menarik tangan Dinan. Membawa perempuan itu melangkah. “Kita
pakai angkot saja, supaya nggak basah-basah amat.” Lalu Arka membawa tangan Dinan
ke dalam salah satu saku celananya yang lebar. “Oh ya, Dinan. Meminjamkan
payung itu etika. Tapi, berjalan satu payung berdua di bawah hujan itu, hanya
aku lakukan bersama orang yang aku suka.”
Tawa Dinan yang renyah beradu dengan suara hujan.
Komentar
Posting Komentar